Sabtu, 08 Juni 2013

For You :)

- Be Romantic
- Protect Me
- Forgive Me
- Pray For Me
- Hold Me
- Love Me
- Comfort Me
- Respect Me
- Support Me

Alasan Kenapa Orang Bertahan Sejauh Itu



Suara yang cocok didengarkan sambil baca postingan ini: Aku Harap Kamu Dengar


Pernah gak kamu bertanya, “Kenapa aku bertahan sampai segininya?” Padahal keadaan gak memungkinkan lagi, mustahil buat bersama.

Kadang, seseorang gak tau alasan mereka bertahan sejauh itu dan melampaui batasnya.

Ketika seseorang suka sama orang lain, dia pasti akan mencari tau banyak tentang orang itu. Gimana kabarnya dia, latar belakangnya, kebiasaannya. Kemudian dia akan menyesuaikan informasi-informasi tentang dia yang disuka dengan kebiasaan yang selama ini dia pegang. Bahkan beberapa orang ada yang memaksakan dan rela mengalah demi menyesuaikan kebiasaan dengan orang yang disukai itu. Contoh sederhananya adalah kalo kamu suka sama orang lain, maka apa yang menjadi kesukaannya adalah kesukaan kamu juga. Misalnya ketika kamu suka orang dan orang itu suka klub bola tertentu, kamu bakal suka (atau mau gak mau mencoba) suka sama klub bola yang sama dengan dia.

Itu namanya pengorbanan. Kemudian kondisi-kondisi yang sama tadi diartikan sebagai ‘kecocokan’ supaya dia mau sama kamu. Kemudian pada kasus beberapa orang yang beruntung gak dapet penolakan, hubungan itu diteruskan ke pacaran. Pada masa itu, bukan berarti semuanya sudah cocok dan baik-baik aja. Selalu ada berantem atau semacamnya karena adanya ketidaksesuaian. Tapi bagi yang bisa mengelola keadaan dan berhasil melewatinya, bakal jadi ‘pelajaran penyesuaian’ diri satu dengan yang lain.

Semakin lama, semakin banyak ‘pelajaran’ yang dilewati. Semakin mengerti satu sama lain. Dan ketika semua ketidaksesuaian gak bisa lagi ditolerir, di sinilah semuanya berawal. Ada dilema datang, mau udahan, atau bertahan.

Dan seperti yang gue bilang tadi di atas, ada yang memutuskan untuk bertahan tapi gak tau alasan pastinya. Mungkin sebenarnya mereka bukan gak tau, cuma bingung yang mana karena alasan itu terlalu banyak atau terlalu samar. Kemudian berpikir semua ketulusan yang dilakukan adalah sebuah kebodohan.

Yang pasti, alasan mereka untuk bertahan gak akan jauh-jauh dari…

Pengorbanan. Semua pengorbanan yang dulu dilakuin semata-mata biar kamu sesuai sama dia, gak mungkin dilepasin gitu aja. Pengorbanan itu berubah menjadi kebiasaan dan ketika waktunya sudah terlewat, menjadi kenangan yang sulit dilupakan.


Ketika hendak menyerah, ingatlah apa yang sudah kamu lakukan sampai sejauh ini.

Keengganan memulai dengan yang baru. Memulai lagi, dari awal lagi, menyesuaikan lagi, berkorban lagi. Beberapa orang terlalu malas, atau terlalu takut melakukan hal ini.


Memulai itu gak pernah mudah.

Gak tergantikan. Orang yang bertahan sampai sebegitunya gak mungkin rasanya kalo buat orang yang biasa-biasa saja.


Mungkin banyak yang lebih baik dari dia, tapi yang sama kayak dia, gak akan ada.

Alasan terakhir. Katanya, ketika kamu jatuh cinta dengan sangat kepada seseorang, kamu gak akan tau kenapa. Mungkin alasan itu akhirnya berhasil ditemukan. Sebuah kata sederhana yang diterapkan dengan rumit, “Sayang”.


Lalu gimana dengan kamu? Perasaan kamu itu stuck, atau sayang? Kamu itu tulus atau bodoh?

(Untuk Mereka yang Takut Kehilangan) . READ , it is TRUE

“Sesuatu yang harusnya keluar harus dikeluarkan. Kalau nggak, bisa bikin gelisah.”

intinya adalah tentang… perasaan.

Ditanda Kutip dulu arti "PACARAN"

Pacaran itu sesuatu yang indah, sesuatu yang seru, sesuatu yang… bisa ngisi hari-hari. Tapi ketika semuanya berjalan seiring waktu, ada perasaan baru -dan berbahaya- yang timbul, yaitu takut kehilangan.

Rasa takut kehilangan itu membebankan, is it true? :)

Semakin indah, semakin baik, semakin sempurna seseorang di mata kamu, maka semakin takut kehilangan kamu akan dia. Rasa takut kehilangan ini kadang memunculkan tindakan-tindakan irasional. Misalnya dalam pacaran, rasa takut kehilangan seringkali jadi dalang timbulnya cemburu buta. Gak pernah rela sedikit pun ngeliat dia kenal sama seseorang yang punya kelebihan dibanding kita.

Sebagai contoh kalau kamu pacaran sama seorang yang suka musik, tapi kamu gak jago main musik, terus pacarmu punya kenalan anak jago musik dan keren. Kamu bisa cemburu kalau tau dia deket sama orang tadi, meski hanya sebagai teman.

Rasa takut kehilangan. Ada “rasa” pada frase tadi. Sesuatu yang berasal dari perasaan seringkali melumpuhkan pikiran. Kamu gak akan bisa berpikir jernih kalau rasa takut kehilangan mengendalikan. Kamu akan melakukan apa pun, entah itu mengubah diri dan berusaha membuat diri menjadi sempurna, atau mengubah dia. Intinya biar dia gak pergi, bahkan gak jauh dari kamu. Hasilnya… dia bisa aja gak nyaman dengan perlakuan itu.

Ketika rasa takut kehilangan menyetirmu dengan segala tindakan gak logisnya, dia semakin gak nyaman, dan akhirnya benar-benar pergi.


Rasa takut kehilangan seringkali malah jadi kenyataan.

Banyak orang yang akhirnya berpisah sama orang-orang yang dia sayang cuma karena rasa takut kehilangan. Tapi ketika sendiri pun, rasa itu bisa datang lagi dan menghantui.

Takut kehilangan padahal memiliki saja belum. Hal ini sering banget terjadi pada mereka yang jatuh cinta diam-diam, mengagumi dalam bisu. Belum memiliki, bahkan kenal pun belum, tapi sudah berpikir terlalu jauh. Ujung-ujungnya… nyesek sendiri.

Bahkan pada tahap paling awal dua orang bertemu pun, rasa takut kehilangan bisa muncul. Misalnya pas sebelum kenalan, sering banget seseorang mikir, “Gimana nanti kalo dia gak mau? Terus kalo dia mau tapi gak bisa berlanjut dengan baik gimana? Gue harus mulai dari mana? Gue mesti gimana?”

Dari situ aja, bisa diliat kalau seseorang yang bahkan belum kenal pun bisa takut kehilangan.

Pada akhirnya kaliN menyadari bahwa rasa takut kehilangan bukan ada karena kita memiliki. Tapi tumbuh bersama-sama dengan harapan untuk memiliki.

Dan semua diawali dengan terlalu berharap.

Mereka yang baik dalam menjaga hatinya adalah mereka yang berhasil mengendalikan harapan-harapan dalam dirinya.

Yakin Kamu Rela ?



Aku lupa sudah berapa kertas dari bukuku yang kutuliskan namamu di atasnya.

Masa-masa sekolah, layaknya yang digambarkan di televisi, selalu penuh dengan kenangan-kenangan. Masa-masa itu yang paling berkesan. Ada yang diisi dengan kebahagiaan, tapi berakhir dengan kepahitan.



Setiap pagi, mungkin ada dari kamu yang begitu semangat datang ke sekolah cuma karena ada dia yang dipuja. Sesampainya di sekolah, langsung sepik-sepik lewatin kelas dia, cuma pengin tau dia udah datang atau belum. Malahan ada juga yang selalu merhatiin tempat parkir, biar tau berarti dia udah datang kalau ada motor dia terparkir di sana.

Waktu upacara, nggak ada lagi kerjaan selain nyari ke sekeliling, dia yang dipuja berdiri di sebelah mana. Beberapa kali merasa jodoh, cuma karena bisa berdiri sebarisan sama si dia. Ya, secret admirer memang terlalu gampang bahagia.

Waktu belajar, yang dibayangin cuma dia. Bahkan ada yang cukup berani nulis namanya di halaman belakang buku catatan, meski hanya inisial.

Ketika udah nggak tahan lagi sama pelajaran yang gurunya lebih membosankan, mulai sok-sokan izin ke toilet dan sengaja lewat kelasnya. Kalaupun si dia lagi nggak ada di kelas, ngeliat tasnya aja udah seneng.

Saatnya istirahat, suka banget diem-diem ngeliatin dia bercanda sama temen-temennya. Ngeliatin dia senyum dan ketawa, memancing kamu juga ikut tersenyum… lalu membuang muka sejauh-jauhnya ketika dia sadar sedang dipandangi.

Buat yang cowok, seringkali menahan panas hati ketika si dia yang jadi inceran digodain sama anak cowok lain, apalagi kakak kelas. Buat yang cewek, seringkali meleleh ketika sang pujaan lagi gitaran dan nyanyi bareng temen-temennya… padahal nyanyian itu bukan buat dia.

Terasa begitu membahagiakan di sekolah, selama ada dia. Bahkan libur sehari pun rasanya terlalu lama.

Sayangnya, masa-masa itu akan segera berakhir.


Memang sakit mengetahui seseorang yang kamu sayang akan pergi, dan kamu gak bisa berbuat apa-apa.

Beberapa suka sama seniornya di sekolah, dan sebentar lagi UN. Ada juga yang sebagai senior, terus suka sama juniornya. Dari kedua hal itu, ada satu persamaan, yaitu: sama-sama gak akan bisa ngeliat sang pujaan lagi.

Pertanyaannya adalah…

Apa kamu rela dia pergi tanpa tau seberapa besarnya perasaan kamu?


“Kalau jodoh, nggak akan ke mana, kok.” Buat yang nyeletuk itu dalam hati setelah baca postingan ini, gue cuma bisa ngucapin: jangan menyesal.

Satu lagi pesan dari gue… Dua hati yang ingin dipertemukan dalam satu cinta… itu membutuhkan momen. Dan mungkin, ini saatnya.

Ada hati yang tidak selamat ketika terucap selamat tinggal.




Kadang Pertemanan Menjelma Menjadi Pembunuh Sebuah Cinta





Sebuah bangkai bisa jadi tak akan pernah tercium selamanya… jika seseorang yang mencium baunya pura-pura tidak mencium, atau menyangkal sedang mencium bau bangkai.

Namun perasaan cinta bukanlah bangkai. Meski terselip dalam sebuah hubungan rumit bernama “pertemanan”, perasaan tetaplah perasaan. Gue orang yang percaya pada sebuah ungkapan…

Cewek dan cowok tidak pernah bisa menjadi best friend sepenuhnya.


Intensitas ketemu, ngobrol, dan saling terbuka mungkin saja perlahan, sedikit demi sedikit menumbuhkan benih-benih cinta, atau minimal suka. Dalam sebuah pertemanan seorang cowok dan cewek, bisa aja ada salah satu pihak yang sempat berpikir, “Dia baik banget. Mungkin gak sih gue suka sama dia? Apa mungkin kita jadian?”

“Kalau bukan suka? Kenapa gue cemburu kalo dia sama yang lain? Padahal kita cuma temen.”

Dan akhirnya pemikiran dan perasaan itu dibunuh dan dikubur dalam-dalam dengan batu nisan bertuliskan “atas nama pertemenan” tertancap di atasnya.

Dari contoh di atas, kadang gue berpikir pertemanan itu kejam. Sebuah pertemanan di antara dua manusia berbeda jenis kelamin, kemudian tumbuh rasa-rasa di dada. Apakah itu semua salah manusia? Bukankah cinta datang sendirinya tanpa diduga-duga?

Banyak orang yang rela membunuh rasanya sendiri hanya untuk menyelamatkan kedekatan dengan dia (dalam wujud teman) yang dipuja, dan untuk tetap bisa menjalani kebiasaan-kebiasaan bersamanya (meski dalam wujud teman).

Sederhananya, ada yang memilih memendam rasa hanya karena takut jadi jauh karena dia gak punya perasaan yang sama.

Memang kadang rasa cinta yang tiba-tiba ada bisa menghancurkan jalinan pertemanan yang sudah dibangun sejak lama. Atau sebaliknya, status pertemanan yang ada membunuh sebuah cinta yang bersemi tiba-tiba.

“Nggak kok. Gue sama best friend gue gak ada rasa apa-apa.”

Mungkin kamu bilang nggak. Mungkin dia bilang nggak juga pas ditanya.

Tetapi di dalam hati, gak ada yang pernah tau… bahkan diri kamu.


Lalu, siapakah yang berharap dalam hubungan pertemanan kamu dengannya? Dia, atau kamu?

Dan sampai kapan mau membohongi diri sendiri?

Pertanyaan terakhir dalam hidupmu adalah…

Apakah pertemanan dan kedekatan itu lebih berharga dari rasa cinta yang tercipta? Dan apa kamu tega membunuhnya?

Padamu yang Telah Lama Pergi



Aku benci mengucap “selamat jalan”. Seperti melemparkan begitu saja kenangan demi kenangan.

Melambaikan tangan padamu tak pernah terasa madu. Layaknya menghunuskan pedang rindu, kemudian malah dihunjam detik sendu.

Urusan merelakan selalu pelik. Seperti menarik keluar hati, kemudian mengirisnya dengan sebilah belati.

Perpisahan bukan hanya perihal membukukan mesin waktu. Namun malah mengaktifkan bom waktu. Hingga semua meledak dalam ribang yang agung. Tak pernah aku rasakan damba yang sebegininya. Selain sejak ditinggal kamu, sesaat setelah lengkung senyummu lenyap ditelan cahaya berkecepatan tinggi. Bergerak menjauh. Semua hanya mendekatkan aku, pada kesepian.

Selalu memejamkan mata, masih mencoba menyeman sunyi, yang hadir malah bayangmu. Lagi. Aku hembuskan percik kenangan di membran kepala, kemudian menyundut api kesendirian. Lalu aku terbakar di dalamnya. Bersama kamu. Kenangan kita.

Hingga kini. Aku masih melambaikan tangan ini. Padamu yang telah lama pergi.

Pagi Adalah Kamu



Pagi adalah di saat mimpi atau kenyataan tak lagi penting, yang penting ada kamu.

Pagi adalah ketika aku berpikir bahkan mimpi paling indah pun tak ada apa-apanya jika aku melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah ketika aku memulai berdoa lagi melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah ketika aku menebak-nebak baju apa yang akan aku pakai agar nanti bisa terlihat serasi denganmu.

Pagi adalah menebak-nebak untuk berangkat jam berapa yang sesuai agar aku dan kamu berpapasan di jalan.

Pagi adalah semangat baru, membayangkan akan bertemu kamu yang tersenyum, meskipun bukan padaku.

Pagi adalah mencari-cari. Mencari kabar terbaru tentangmu.

Pagi adalah ketika matahari tersipu malu melihat kamu tersenyum. Dia menganggap dirinya jantan, dan kamu matahari betina.

Pagi adalah mengkhayal kamu adalah sisipan alunan dalam senandung harva malaikat pagi.

Pagi adalah mengkhayal lagi, mengkhayal kamu adalah malaikat pagi itu sendiri.

Pagi adalah ketika aku mengabaikan pesan dokter. Katanya, sarapan itu sehat, aku malah sarapan memikirikan kamu.

Pagi adalah ketika logikaku berkata “Kamu cuma kegeeran.” dipatahkan oleh perasaan yang berkata “Bukan, kamu jatuh cinta.”

Pagi adalah deg-degan membuka SMS di handphone, berharap itu dari kamu. Dan kecewa ketika tahu itu cuma promosi dari provider seluler.

Pagi adalah… Saat aku rindu kamu.

*sebuah siratan yang akhirnya tersurat dari suratan sebelumnya

Maaf



“Nila setitik rusak susu sebelanga.“

Aku pernah berpikir keras bagaimana kalimat di atas bisa benar-benar merepresentasikan keadaan dalam kenyataannya. Aku selalu benci mengapa pengaruh negatif selalu lebih kuat dibanding yang positif.

Bagaimana mungkin nila yang hanya setitik itu bisa merusak susu sebelanga banyaknya? Tentunya tergantung kadar si nila itu sendiri. Namun yang aku tahu, keburukan sering kali lebih kuat. Contohnya orang terbaik yang pernah kamu kenal, sekali dia melakukan kesalahan/keburukan, kontan semua kebaikannya seakan luruh, sirna, sia-sia.

“Ketika dia berbuat salah, ingatlah kebaikannya.”

Tentu saja hal itu diperlukan, agar apa? Agar kita menjadi hamba yang pemaaf, tidak melebihi sifat Tuhannya, namun berusaha mengikuti jalan-Nya. Namun masih ada yang kurang dari ungkapan tadi, mesti ditambah sebaliknya, “Ketika dia berbuat baik, ingatlah kesalahannya. Hanya agar kamu tetap waspada.“

Ya, memang apa pun yang berlebihan, tidak baik. Seperti halnya memaafkan, dan membenci. Membencilah, marahlah, kecewalah dengan sewajarnya, agar kamu bisa dengan wajar memaafkan.

Aku Hanya Ingin Mencintai, Bukan Melukai





Mencinta adalah mengambil risiko tak dicintai kembali. Mencintai tanpa harus memiliki? Aku rasa hanya ada dalam dongeng. Setiap cinta, sedikit atau banyak, akan meminta kembali, meskipun hanya berupa senyuman bahwa dia cukup bahagia disajikan cinta walaupun tak punya cinta untuk membalas.

Mencintai diam-diam adalah sebuah keharusan menyiapkan diri mendapat balasan cinta diam-diam pula, atau penolakan diam-diam juga.

Semua orang hanya ingin mencintai dan dicintai. Namun mana yang harus didahulukan? Mencintai atau dicintai. Beberapa orang mencintai dan berharap dicintai, beberapa lainnya hanya akan mencintai jika ia dicintai terlebih dahulu. Ada persamaan hasil antara kedua hal tersebut, luka.

Pengharapan selalu berbanding lurus dengan kemungkinan kekecewaan yang didapat. Semakin kamu berharap, maka semakin besar kemungkinan kamu akan kecewa.

Mencinta seperti menggenggam seekor burung. Jika kamu menggenggamnya terlalu erat, maka akan mati. Namun jika menggenggamnya terlalu longgar, dia akan pergi. Jika kamu melakukan salah satu dari kedua hal tersebut, tetap hasil akhirnya adalah luka. Di hatimu, atau hatinya.

Pilih mana? Aku selalu benci pilihan, tapi lebih benci lagi jika tidak punya pilihan sama sekali. Ada kalanya ketika kamu hanya ingin mencintai, kamu hanya berakhir dengan melukai.

Aku lebih baik dilukai, karena ketika kamu dilukai kamu selalu punya objek untuk disalahkan, dimaki-maki. Apa bedanya dengan melukai? Melukai orang lain, apalagi orang yang kamu sayang, hanya menyisakan dirimu sendiri untuk disalahkan. Selamanya, kamu hanya bisa menyalahkan diri sendiri.


“Kamu hanya bisa melihat dirimu hancur di depan bayanganmu sendiri.“


Aku hanya ingin mencintai, bukan melukai.

Dendam yang Dititipkan pada Tuhan



“Aku sakit hati. Tunggu saja, karma akan membalasmu.”

Sepenggal kalimat tadi sering kita dengar di acara sinetron, atau terdengar dari mulut sendiri atau hati kecil kita.

Karma. Mungkin itu salah satu alasan yang membenarkan kita menjadi seorang pendendam, dengan meminta bantuan semesta, dalam kasus ini, Tuhan. Apakah Tuhan begitu pendendam dengan mengajarkan dendam kepada umat-Nya? Atau Dia hanya berlaku adil? Entah, yang aku tahu, nabi mengajarkan untuk mendoakan yang baik meskipun kepada orang yang berbuat jahat pada kita.

Namun kita hanya manusia biasa. Ya, itu alasan yang paling sering dilontarkan ketika kita tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menjadi manusia yang luar biasa.

Ketika mendapatkan sesuatu yang buruk dari orang lain, kita sering memohon Tuhan ‘membalaskan dendam’ dengan berucap, “Biar Tuhan aja yang balas.”

Bagaimana jika perlakuan buruk itu merupakan balasan ‘dendam’ orang lain yang pernah kita sakiti pula di waktu sebelumnya, yang dia titipkan melalui Tuhan? Sekali lagi, entah.

“Mata harus dibayar dengan mata.” Seorang pendendam biasanya memiliki prinsip seperti itu, atau lebih buruk. Namun aku ingat apa kata Mahatma Gandhi.

“‘Mata dibayar dengan mata’ hanya akan membuat dunia (kamu) buta.”

You Know You’re In Love



You know you’re in love when you can’t keep your eyes off of her.

You know you’re in love when you can’t get your eyes off of her.

You know you’re in love when you do everything to find out her name.

You know you’re in love when you really want to have a chat with her even though she doesn’t know you at all.

You know you’re in love when anything about her becomes the most important knowledge to you.

You know you’re in love when you hate that you got no idea about her.

You know you’re falling in love when you really hope she has a twitter account so that you can follow her and know many things about her.

You know you’re in love when you really expect your facebook friend request to be confirmed.

You know you’re in love when you really want her to update her twitter or facebook page.

You know you’re in love when you check her facebook page all the time.

You know you’re in love when you’re seeing her picture on and on and you can’t stop at all.

You know you’re in love when you wait for her online nervously.


You know you’re in love when you don’t want to delete all the comments and messages from her.

You know you’re in love when you see her then your heartbeat’s sound is being louder and louder, but you’re voice becomes quieter and quieter.

You know you’re in love when you can’t talk in front of her at all, but you know you really want to.

You know you’re in love when you want to make her smile all the time, as much as you can.

You know you’re in love when her pheromone becomes your new favorite smell.

You know you’re in love when you hope the rain wouldn’t stop when you and her take shelter.

You know you’re in love when you feel the time is going so fast, even too fast, when you’re with her.

You know you’re in love when ‘goodbye’ becomes the hardest word to be said and ‘hello’ becomes the word that you would really miss.

You know you’re in love when your phone rings and you hope it’s her.

You know you’re in love when the phrase “nobody is perfect” becomes a bullshit because she’s perfect for you.

You know you’re in love when you feel there’s nothing left when you’re with her. You know you’re in love when you realize that your writing contains so many “you know you’re in love”.

Hujan Lagi, Melamun Lagi





Ah, hujan. Aku selalu suka hujan. Hujan itu waktu yang tepat untuk melamun. Melamunkan bulir-bulir kenangan yang turut bersama air dari langit.

Hingga akhirnya gravitasi membuatnya menghujam tanah, bentuknya seperti jarum. Begitu, terasa menusuk dan sakit walau sedikit. Membuat terhenyak walau sejenak.

Seperti biasa. Aku melamun duduk di sofa, menatap kaca jendela, tepat di depannya, menyaksikan air turun menyusuri. Bagai melihat sebuah film, film berjudul namamu. Semua hanya wajahmu yang terproyeksikan.



Hingga akhirnya hujan reda, yang tersisa hanyalah hujan yang baru. Di mataku, karena rindu.

Bagaimana mungkin hadir lagi pelangi di hati yang basah ini? Sedangkan kamu, sang mentari, pergi dibayangi awan kelabu penutup mimpi. Kembalilah, buat mataku berwarna lagi.

Ketuk saja kelopak mataku jika kamu sudah temukan lagi kuas kasih itu.

Es Krim “Rasa Kamu”





“Hati kamu dingin. Aku taburi serpihan rindu. Biarkan sepi jilati heningnya. Hingga relung pelukmu menghangat.”

Aku terbangun lagi. Memikirkan kamu lagi. Aku melakukan kesalahan lagi. Aku nyalakan komputer, masih mencoba menulis tentang kamu. Aku buka media player, aku double-click lagu John Mayer. Ya, salah. Sebab sejak mendengarkan lagu-lagunya, aku jadi sering tertukar antara mimpi dan kenyataan.



Buktinya, aku masih mengejar cintamu. Aku tersesat. Aku di antara mimpi dan kenyataan. Di sana ada sebuah kereta es krim dengan warna mencolok. Aku yang kehausan, dahaga karena teriknya rasa kehilangan ini, menghampirinya. Aku celingukan mencari siapa penjaga kereta es krim itu. Tak menemukan siapapun.

Aku sajikan saja es krimku sendiri. Di sana ada tulisan kecil terkesan seperti sebuah memo, “Es krim rasa kamu.”

Aku tak mengerti. Apakah maksudnya rasa seperti apa yang diinginkan atau seperti apa? Belum selesai aku berdebat dengan pikiranku, tangan ini -dibantu dahaga tak berkesudahan- bergerak sendirinya mengambil sendok es krim kemudian mengambil beberapa scoop kecil es krim. Aku ingat, aku ambil 9 scoop es krim. Ya, aku haus, tapi tak biasanya aku serakus itu. Aku ambil es krimnya sesuai angka kesukaanmu, 9. Itu saja.



Aku duduk di sebuah kursi panjang di taman yang dijatuhi daun -yang digugurkan pohon kepanasan-. Hari itu terik. Hanya bertemankan sepi, aku membagi es krim “rasa kamu” milikku. Aku memang sedang dahaga, tapi sepertinya malah sepi yang terlihat lebih kehausan. Dia menjilati es krimku seperti tak ada es krim lagi di dunia ini.

Aku tak mau kalah, dahagaku memacuku mengalahkan sepi. Dan ketika es krim “rasa kamu” habis dalam jilatan terakhir, yang tersisa hanya aku dan sepi.
ditulis di sebuah malam yang terik

Berdiri di Atas Jarak



Kata kamu, jarak tak ada artinya bagi cinta. Iya, sesaat setelah aku merasakan rindu. Jarak tak ada apa-apanya dibanding rindu yang terbangun di antaranya.

Rindu itu dimulai sedetik sejak lambaian tanganku ke arah pesawat itu.

Rindu itu dimulai sekejap dari saat pesan “hati-hati” yang aku kirimkan.

Aku tidak pernah mengerti dengan rindu. Sebuah paradoks yang kompleks. Terlalu rumit untuk cinta yang sederhana ini. Jarak membuatku rindu padamu. Namun bertemu denganmu justru membuatku semakin rindu.

Jarak selalu memperparah malam-malamku. Prasangka itu sulit, sayang. Menahannya semalaman suntuk hanya meyakinkan diri tidaklah mudah. Percaya, tapi semuanya tidak semudah itu, karena bukan akulah yang sesungguhnya kamu tunggu.

Aku tak sanggup jika harus menahan jarak sekaligus menahan perasaan. Apalagi dengan jarak yang terbentang antara kita saat ini. Jarak yang sepertinya tak sanggup aku tempuh dengan berjuta kayuh sekalipun.

Kepada Kamu, Tolong Jangan Buka Ini

Aku suka menganalogikan suatu hal menggunakan hal lainnya. Bukan hanya agar mudah dipahami, tetapi juga untuk berpikir, kemudian untuk dimengerti. Sesuatu yang sudah dimengerti akan bisa diterima.

Seperti halnya aku menganalogikan kisah kita sebagai sebuah buku, buku yang tak habisnya aku tulis kemudian kubaca sendiri. Selanjutnya buku itu membuatku beranalogi seolah-olah ia adalah mesin waktu yang membuatku terhempas, kemudian ia menjelma menjadi sebuah kutub di sudut bumi. Membekukan. Mendiamkan. Dingin.

Hingga semuanya berakhir, sampai akhirnya aku tersadar, semuanya sudah tiada. Namun semua itu takkan pernah berhenti.

Aku, menganalogikan kisah kita menjadi sebuah buku. Buku yang seharusnya tak kaubaca. Aku tak ingin terhempas ke masa lalu, kemudian terdampar di masa depan. Tanpamu.

Kuharap kamu tak membuka ini. Aku harap kamu mengerti.

Izinkan Aku



Aku tidak pernah lelah mengguratkan pena kisah kita bertintakan kenangan.

Aku tidak percaya bahwa tidak ada yang abadi, mungkin cintamu iya.

Aku tidak mengerti apa yang akhirnya mendorongku untuk menetapkan hati.

Aku tidak ingin menjadikan kenangan ini berceceran.

Mewujudkannya dalam bentuk susunan bab demi bab berisi kisah kita nampaknya akan menjadi kisah romantis yang pernah aku alami. Maka izinkan aku membubuhkan sekisah demi sekisah kita sehingga menjadi sebuah balada cinta yang di dalamnya diiringi genderang cinta yang jatuh, dan bunyi biola memekakkan telinga hingga senarnya putus.

Aku mohon kerestuanmu. Aku kisahkan abadi cinta. Aku abadikan kisah cinta.

Maukah kamu mengizinkan aku?

Sabtu, 25 Mei 2013

Terima Kasih, dan Tak Pernah Cukup

Terima kasih sudah menyajikan cinta yang begitu nyaman.



Terima kasih sudah manangkapku yang terjatuh. Membangunkanku lagi. Kemudian menjatuhkan hati. Dan mendaratkannya di bantalan kasih seindah dunia peri.

Terima kasih sudah menyelamatkan rasa yang hampir tenggelam, dengan hadir dalam hidupku walau penuh lebam.



Terima kasih sudah menyeka luka, sehingga senyum itu muncul lagi terlihat di air muka.

Terima kasih sudah menjadi penawar harap yang dulu mulai memudar.

Terima kasih karena membiarkan aku belajar, meski aku tak pernah merasa cukup.



Aku tak pernah merasa cukup dengan kasih darimu yang senyaman ibu.

Aku selalu merasa kurang akan tempat untuk membuktikan diri, bahwa aku sejati. Dan kamu hadir, memberikan kesempatan itu.

Aku tak pernah puas berusaha segenap jiwa membahagiakan kamu perajut asa.

Aku bisa selalu lapar untuk kamu ajari bagaimana mencinta dengan setulus hati.



Sebuah impian bisa terbangun di suatu pagi dengan parasmu di sampingku, setelah berebut selimut di malam penuh kabut.

Kelak aku hanya ingin terjaga karena sinar matahari yang masuk seraya kamu bukakan jendela, dan melayangkan sebuah kecupan di mata.

Aku selalu memimpikan denting adukan sendok di secangkir teh hangat, lengkap dengan senyum manismu yang kunantikan dengan sangat.

Kepada kamu yang akan selalu menjadi alasanku untuk bertahan

Selasa, 14 Mei 2013

"Best difference between promises and memories…
PROMISES : we break them,
MEMORIES : they break us."

Rasa Takut

“Rasa takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Kalau saja kita selalu ingat bahwa masa depan itu tak pasti, kita tak akan pernah mencoba meramalkan apa yang bisa saja salah. Rasa takut berakhir saat ini juga.”
sayingimages:

I’m in love with you, no big deal
FOLLOW SAYING IMAGES FOR MORE INSPIRED IMAGES & QUOTES

Will You?

Hey gorgeous :) Take care and please come back soon.

Uhm, I’ll be missing you. Will you miss me… too?

Read

“There is never jealousy where there is not strong regard.” (Washington Irving)

I’m always worried about something: his ex-girlfriend. However, after all this time it still bothers me that she is around. I know he has a right to be friends with his exes if he wants to. No big deal.

—Except for this one.

I’m jealous for a reason. Because… I know, his ex still has feelings for him.She does still talk about him! Ugh. Please don’t bother. It’s so freaking annoying. All that jealousy means is that I’m human. I just don’t want to lose the person I’m with. I know that she might know every little thing about him. To be honest, I hate knowing that someone else used to have that connection with him that I have with him now. I know it seems childish and selfish. But it’s just because I love him completely. And jealousy doesn’t mean distrust.

not talking to an ex doesn’t mean you’re not friends with the ex anymore. It just show that you respect your current girlfriend/boyfriend.

—-

I know he keeps in contact with his ex. And sometimes, it simply hurts.

Harga Diri

"Berapa lama waktu yang harus terbuang sia-sia? Berapa banyak hati yang harus tersakiti? Berapa banyak penyangkalan yang harus digenapi? Hanya karena 2 potong kata ini, harga diri."

never remember it

A word for when a word loses meaning.
There is a word that explains
the effect of saying a word
repeatedly until it loses its meaning.
What is that word?
I know I’ve heard it, but can
never remember it
:(:

SESEDERHANA ITU

“Sebenarnya apa yang membuat kamu merasa masih susah untuk melepaskan yang terakhir ini? Padahal ini bukan pertama kalinya kamu menjalin hubungan dengan seseorang―dan melepaskannya―kan?

dan saya hanya bisa menjawab,

“Terlalu banyak memori yang dia buat untuk saya.”



Iya. Sesederhana itu.

Senin, 13 Mei 2013

Time

Who can say where the road goes
Where the day flows, only time
And who can say if your love grows
As your heart chose, only time


Kamu pernah bilang, kenapa harus berpikir jadi yang terakhir dalam menjalin sebuah hubungan. Atau, kenapa nggak dijalani saja dulu hubungan itu ketika aku bilang bahwa aku punya keinginan untuk menjalin hubungan yang serius—dan terakhir. Mungkin kamu memang benar. Sebuah kesia-siaan ketika aku berandai-andai soal masa depan selagi ada kamu di sini.


Who can say why your heart sighs
As your love flies, only time
And who can say why your heart cries
When your love lies, only time


Kamu juga pernah bilang, biar waktu yang ngasih jalan keluar. Pada akhirnya aku setuju dengan itu. The future is not guaranteed. Apalagi kita bicara soal perasaan, yang bisa berubah begitu saja tanpa alasan yang dapat dijelaskan secara memuaskan. Dan aku, nggak bisa berjanji apapun.


Who can say when the roads meet
That love might be in your heart
And who can say when the day sleeps
If the night keeps all your heart
Night keeps all your heart




Dan nyatanya, itu tidak selalu berhasil. Iya, semua menjadi percuma ketika hanya satu pihak saja yang berusaha kan?

Mungkin suatu saat aku pergi; kamu pergi. Mungkin kembali; mungkin tidak. Tapi saat ini kita memang sedang tidak ingin pergi kemana-mana kan? Jadi, yang perlu aku lakukan adalah menikmati waktu ‘sekarang’ bersama kamu.




Who can say if your love grows
As your heart chose, only time
And who can say where the road goes
Where the day flows, only time

Who knows? Only time
Who knows? Only time… (*)


Kalau kamu tanya apakah saat ini aku mencintai kamu, jawabannya: Iya.

KEPADA HATI ITU

Jika suatu saat nanti kamu mulai ragu dengan apa yang kita jalani, yakinlah. Tidak akan ada cerita jika kita tak percaya. Berusahalah agar diberikan kemantapan dalam menjalani semua ini.

Jika suatu saat nanti kamu memutuskan untuk berjalan sendiri, pikirkanlah, Kita pernah berjalan menyamakan langkah walaupun aku bisa berjalan lebih lambat darimu; kamu bisa saja memilih berjalan lebih cepat dariku.

Jika suatu saat nanti ada yang mulai berubah dengan perasaanmu, renungkanlah, Kita pernah memutuskan untuk membuat cerita bersama, berkomitmen menjalani semuanya.

Jika suatu saat nanti kebosanan mulai menghampiri, ingatlah, Luangkan sejenak detik dalam sibukmu untuk berdiam memanggil kembali segala ingatan. Segala alasan yang membuat kita bertahan.

Jika suatu saat nanti muncul pertanyaan sampai mana rasa ini kan dicoba, berusahalah, Supaya kita tetap bisa jalan beriringan. Saling jatuh cinta. Menjaga segala rasa.

Jumat, 10 Mei 2013

Menunggu yang Pasti Bisa Lebih Menyakitkan



Apa yang lebih pahit dari menunggu yang tidak pasti? Adalah menunggu yang pasti, tetapi sudah jelas akan terasa menyakitkan.

Seperti sebuah cinta yang sedang kita jalani. Antara aku dan kamu, yang berbeda dari berbagai sisi. Perbedaan demi perbedaan tidak teratasi, bukan hanya dari dalam tapi juga dari luar diri, semuanya bergumul menjadi emosi.

Ada yang aneh dari hubungan ini. Aku dan kamu tahu ini hanya sementara, ini akan segera berakhir. Akan tetapi, kita tetap memaksakan keadaan. Kita jalani ini seada-adanya.

Aku sudah tahu apa akhir dari hubungan ini, begitu pun kamu. Tapi kita berdua seakan seperti Frodo dan Sam menentang dunia, berdua menyusuri jalan yang mustahil menuju Mordor. Mereka berdua berhasil. Namun kenyataan bukanlah Medieval. Kita bukanlah Hobbit.

Waktu itu -waktu yang tidak kita tunggu tapi tetap akan datang itu- selalu menghantui. Aku hanya ingin menghabiskan detik demi detik sebuah penantian menuju perpisahan, dengan membuatmu tertawa bahagia. Namun semakin aku melihat gelak tawa itu, semakin ditancap hati ini rasanya dengan sebilah sembilu.

Semakin aku menunggu waktu itu, semakin sakit hati ini aku siapkan. Mempersiapkan singgasana bagi nyeri yang kelak tak kunjung usai. Kepedihan yang akan berlangsung selamanya. Seumur hidup ini.

Dan ketika aku membekap luka ini sambil menahan perih, semoga kamu menemukan dia yang mendapat restu,… yang satu Tuhan.

Mengisahkan Sebuah Tunggu




Ting. Ting. Ting.

Putaran sendok searah jarum jam mengitari diameter cangkir, sesekali beradu. Mengingatkan aku pada sesuatu yang kini sudah larut. Semua rasa ini, sayang, rindu, marah, benci, semuanya teraduk setelah kamu pergi.

Ketika senja menjelang, aku sering melangkahkan kaki, melewati jalan-jalan yang biasa kita lalui. Kadang sejenak aku tertahan, terhenti, begitu terasa kenangan yang tak terbantahkan, tentang kamu yang tiada lagi.

Kepalaku sering tertunduk mengamati. Mata ini begitu penasaran ke mana kaki ini akan pergi. Persimpangan pertama sudah terlewati. Itu tempat kita pertama perkenalkan diri. Sudah, itu bisa kubahas nanti.

Persimpangan kedua terlewatkan. Di sana kita biasa berbisik pelan. Mengamati setiap orang di sisi jalan. Gelak tawa meledak tak tertahan.

Aku tak tahan melewatkan persimpangan yang ketiga. Tempat itu kerap kita jadikan merajut asa. Yang katanya, hidup selalu bersama. Ya, hampir selamanya.

Langkah kaki akhirnya terhenti di depan sebuah kedai kopi. Aku masuk tergoda wangi. “Di sini,” gumam sang hati.

Aku memutuskan menunggumu di sini bertemankan kopi, secarik kertas, dan pena, seraya menuliskan segurat kisah yang hampir sempurna. Tentang kita.

Tanpa kamu memesannya, aku setia menyajikan ceruk cangkir sepi berisi rindu yang masih hangat.

Aku

Tanpa kamu memesannya, aku setia menyajikan ceruk cangkir sepi berisi rindu yang masih hangat dalam setiap pagimu yang lirih.

Aku masih menyusuri jalan serumit benang kusut menuju hatimu, membawa tas penuh berisikan rindu.

Sabtu, 04 Mei 2013

Hanya Sebuah Kata

Kesalahan yang selalu kita buat dalam kehidupan adalah sebuah pelajaran untuk mengerti kebenaran- Bidadari Terakhir

Siap tidak siap kita harus menerima bahwa kebahagiaan tidak selalu menjadi milik kita selamanya

setiap kesalahan adalah kita untuk berpikir bahwa ada yang salah untuk mencari kebenaran

bila kamu menghargai masa kini maka di masa depan kamu tidak akan pernah menderita karena melupakan saat ini

tidak ada bisa mengembalikan pelangi yang indah di atas langit tetapi kita bisa melukis kembali keindahan itu andai kita mau berusaha

bila kamu tidak pernah bisa mencintai orang lain dengan tulus jangan biarkan ia menerima segala rasa sakit dari kisahmu akan menjadi kelam

Kemarin kau tertawa kini kau tertangis kelak kau melihat keduanya dgn tanda tanya mengapa itu terjadi walau tak ada alasan untuk dimengerti

Kekalahan adalah perasaan yang paling menyakitkan tapi di balik semua rasa itu tanpa sadar membuat kita menjadi lebih hebat dari sebelumnya

Kita adalah sejarah yang tercipta karena adanya cinta di antara dua insan yang menyatu sebagai kehidupan


Hati Ini Menunggu


Lampu pada tulisan “Ruang Tunggu” itu mulai redup, satu-persatu sosok di dalamnya mulai melangkah keluar. Bukan meraih apa yang mereka tunggu-tunggu, melainkan melangkah keluar saja. Menyerah.

Aku tak kenal siapa mereka. Namun di bawah kerah kemeja sebelah kirinya tertulis “logika”. Beberapa sosok lainnya aku lupa jelasnya seperti apa, tetapi sepertinya mereka semua bersaudara. Kembar mungkin.

Di sini, di ruang ini, hanya aku yang tersisa. Sendiri. Aku sempat takut dan termakan bujuk rayu mereka yang pergi lebih dahulu. Aku bukan betah duduk di sini dan menunggu, hanya saja sesuatu yang aku tunggu lebih membuatku tak betah jika aku tinggalkan.

Duduk di ruangan sebesar ini sendiri, membuatku terlihat begitu rakus. Mengenyam semua waktu sendiri. Mendengarkan alunan detak detik melalui headset, tertegun dan tertunduk. Menunggu pintu yang berada beberapa langkah di sebelah kiriku terbuka dan sosok di baliknya berujar, “Berikutnya.”

Pada saat itulah aku akan bangkit dari tempat duduk ini, detak detik ini tak membuatku tuli karena aku mendengarkan melalui diri sendiri. Aku akan buka pintu itu dengan lembut, menyambut siluet dengan cahaya lebih terang di depannya sehingga sosoknya tak begitu jelas terlihat.

Aku begitu yakin dengan sosok itu. Benar saja, sosok itu kamu. Dan aku akan ceritakan bagaimana penunggu yang lain beranjak pergi, menyerah. Atau entah melenggang menunggu yang lain. Sebelumnya, akan kujabat tanganmu, kugenggam erat, kutatap matamu dalam-dalam.

“Perkenalkan, namaku hati.”

Kata Seorang Anak Tentang Cinta

Valentine, sebuah hari di Februari yang katanya penuh kasih sayang, penuh cinta. Namun katanya lagi, cinta tak perlu dirayakan hanya di sebuah hari. Aku ingin mengenang cinta hari ini, bukan hari di Februari. Belajar cinta dari seorang anak.

Berbicara tentang cinta, orang dewasa tak akan pernah bisa mendeskripsikannya karena mereka terlalu takut dan egois.

‘Cinta adalah memberi dan menerima, blablabla…,’ itulah kata mereka. Sangat terlihat mereka terlalu berhati-hati ketika berbicara tentang cinta, dan kalian tahu apa yang didapat? Ketika kamu terlalu berhati-hati, kamu hanya menghasilkan yang “bukan diri sendiri”.

Anak-anak adalah manusia yang belum sempurna, dan memang sebagai manusia tidak akan menjadi sempurna. Namun justru karena ketidaksempurnaan itu mereka berani bertanya, mencoba, bicara tanpa takut salah, kotor, ataupun sakit. Memang terkesan ceroboh, tapi lebih banyak pelajaran yang bisa diambil dan “efek jera”-nya memang lebih terasa.

Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak tak ahli dalam hal menyerah. Mereka terlalu penasaran, terlalu ingin tahu. Anak-anak pasti melakukan apapun untuk tahu, tak peduli itu begitu berisiko buat mereka, tak peduli itu akan sangat menyakitkan dan mengecewakan, yang penting mereka jadi tahu.

Biasanya anak-anak yang belajar dari orang dewasa, tapi untuk kali ini aku rasa orang dewasalah yang mesti belajar dari anak-anak. Deskripsi orang dewasa tentang cinta sudah tak murni, karena sudah bercampur dengan refleksi ego sendiri. Lain halnya dengan anak-anak, mereka mendeskripsikan tentang cinta tanpa ada penambahan-penambahan maksud dari egonya masing-masing. Mendeskripsikan cinta dengan tulus.

Aku pernah mendengar beberapa anak berceloteh tentang cinta, aku pikirkan, aku renungkan, bahkan aku bayangkan menjadi seorang anak berbicara.

“Cinta adalah ketika aku mengenakan parfum kakakku ketika pergi sekolah, dia pun mengenakan parfum kakaknya, sepertinya, aku mencium wanginya, dia mencium wangiku. Cinta adalah ketika seseorang yang aku sukai menyukai baju yang aku kenakan, dan akupun mengenakannya setiap hari. Cinta adalah ketika aku rela memberikan beberapa kentang goreng dari bekalku untuknya tanpa berharap dia memberikan sedikit telur dadarnya untukku. Cinta adalah ketika aku menjahilinya bahkan sampai menangis hanya untuk mendapatkan sedikit perhatiannya. Cinta adalah yang membuat aku tersenyum walau aku sedang lelah setelah pelajaran olahraga,” ucapnya sepulang sekolah seraya mengelap keringat di dahinya.

“Cinta adalah ketika aku sedang ragu untuk tampil dalam lomba pidato, dia memberikan lambaian tangan dan senyuman untuk menyemangatiku. Cinta adalah ketika aku berharap dia yang menenangkanku ketika aku bertengkar dengan temanku. Cinta adalah ketika bulu mataku naik turun melihatnya, dan aku merasakan serpihan bintang keluar dari mataku. Cinta adalah ketika aku celingak-celinguk saat dia gak masuk sekolah,” tuturnya sebelum tidur sambil memandangi langit-langit kamarnya.

“Cinta adalah ketika seseorang menyebut namaku dengan cara yang beda, sampai aku sadar bahwa namaku aman di bibirnya,” ujarnya padahal baru saja dia dimarahi ibunya karena tak mau makan. “Lagi gak nafsu,” bantahnya.

“Cinta adalah ketika ibu mencium keningku dan menaikkan selimut sampai ke dagu untuk mengantar aku ke alam mimpi. Cinta adalah ketika ayah menggendongku ke kamar tidur karena aku tertidur saat menonton TV. Cinta adalah ketika ibu melihat ayah yang lusuh dan bau sepulang kerja, tapi tetap menganggapnya pria paling tampan di dunia. Cinta adalah ketika ibu membuatkan kopi untuk ayah, dan menyicipnya hanya untuk memastikan rasanya sedap sebelum disajikan untuk ayah,” gumamnya sambil setengah sadar karena kantuk yang tak tertahankan.

“Cinta adalah walaupun ketika lelah bercumbu, tetap ingin bersama, dan membicarakan beberapa hal,” yang ini kata ibu dari seorang anak.

“Cinta adalah ketika ibu menunggu ayah pulang kerja sampai tertidur di sofa. Cinta adalah ketika ayah mencium kening ibu yang tertidur di sofa, dan menyelimutinya. Cinta adalah nenek yang mengucapkan ‘aku sayang kamu’ setiap hari kepada kakek, karena nenek tahu kakek itu pelupa. Cinta adalah ketika nenek sudah tidak bisa lagi membungkuk untuk mengecat kuku kakinya, kakek melakukannya untuk nenek, sampai kakek gak bisa lagi melakukannya. Cinta adalah ketika nenek menyimpan foto kakek walau kakek telah tiada. Cinta adalah ketika nenek tetap mendoakan kakek walau kakek gak akan ada lagi,” ocehnya sepulang berlibur di rumah nenek.

“Cinta adalah ketika nenek meninggal dengan tenang karena nenek yakin akan bertemu kakek di surga,” kata seorang anak tentang cinta.

Melangkah Seperti Jarum Detik



“Tolong beri aku waktu! Beri aku kesempatan.”

Kadang kita tak hentinya meminta waktu, meminta kesempatan lagi kepada orang lain, kepada semesta, bahkan kepada Tuhan. Sebuah kesalahan yang sudah kamu lakukan, jika itu diperbuat tanpa ada unsur kesengajaan, hanya mengikuti kata hati, dan itu salah, maka kamu pasti ingin memperbaikinya sepenuh hati.

Namun apa daya? Waktu itu sudah dirancang Tuhan dan dieksekusi semesta berputar searah jarum jam, atau perputaran jarum jam itu sendiri yang mengikuti arah berjalannya waktu. Entahlah, yang pasti waktu terus berjalan, ke depan. Kata “seandainya” takkan pernah habis terlintas dalam benak seseorang yang sudah melakukan kesalahan, tanpa ia sengaja. Kata tersebut sepertinya bergandengan dengan benda nista bernama penyesalan.

Tak sepenuhnya nista. Dalam sebuah penyesalan, meskipun selalu datang terlambat, justru keterlambatan itu yang membuat kita harus lebih berhati-hati. Kamu mungkin bisa memutar jarum jam ke arah yang sebaliknya, tetapi kamu tak akan pernah bisa memutar waktu kembali. Semuanya tak akan pernah sama lagi.

Jika kamu bersungguh memperbaiki kesalahan, maka hal paling masuk akal setelah melewati semua fase “denial” dengan segala “seandainya” dan penyesalan adalah tetap melangkah ke depan, menjadikan yang di belakang sebagai pelajaran. Seperti jarum detik yang terus berjalan, perlahan mengajak jarum menit dan jam maju, melewati semua.

“Karena tak ada yang bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu selain perbuatanmu kini, dan di masa depan nanti. Untuk memulainya, kamu sendirilah yang harus memberi waktu untuk dirimu sendiri.”

Jadi, Mau Berlari Terus?



“Pernahkah kamu berlari dan terus berlari?“

Kadang kita tak pernah menemukan lelah ketika berlari. Berlari (berusaha) meninggalkan kenyataan rasanya begitu menyenangkan sekaligus menakutkan, karena berkali-kali kenyataan jelas ada di depan kita.

Ketika rasa itu menghampiri benak dan pikiran, lama-kelamaan kamu akan menemukan kesia-siaan dalam sebuah “pelarian”. Semakin jauh kamu mencoba melarikan diri dari kenyataan, semakin dekat kenyataan denganmu.

Hingga akhirnya kelelahan menjadi kenyataan berikutnya yang menghampirimu. Ada sebuah pelajaran yang hampir kita lupakan setiap berlari. Kadang kita hanya terfokus pada seberapa cepat kita berlari dan seberapa jauh kita meninggalkan. Pernahkan kita berpikir kapan saatnya berjalan? Dan kapan waktu yang tepat untuk berhenti, mengistirahatkan diri hati ini?

“Sayangnya kita sering mencoba berlari tanpa belajar berjalan terlebih dahulu, dan melupakan bagian terpenting, yaitu berhenti. Tak heran jika kamu terus terjatuh.”

Aku tidak Setuju dengan Johnny




“If you love two people at the same time, choose the second one, because if you really loved the first one you wouldnt have fallen for the second.” – Johnny Depp

Jika kamu tidak mengerti ungkapan Johnny di atas, bergegas ambil kamus atau panggil kekasihmu (yang mengerti bahasa Inggris tentunya) untuk menjelaskannya untukmu.

Johnny, ungkapanmu itu mungkin banyak disukai orang, khususnya penggemarmu. Namun aku, sebagai salah satu penggemarmu juga, tidak setuju. Sama sekali tidak setuju.

Kamu pernah berjalan di atas jalan setapak dan tak berujung? Itulah yang aku maksud. Johnny mengatakan ketika kita mencintai dua orang di waktu yang sama, pilihlah yang kedua, karena ketika kamu benar-benar mencintainya, kamu tidak akan jatuh cinta lagi.

Salah! Lalu bagaimana ketika sudah memilih yang kedua, kemudian datang yang ketiga? Ketika telah memilih yang ketiga, datang yang keempat? Sampai kapan pun, kamu tak akan pernah menemukan akhirnya.

Menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih adalah tentang menerima kekurangan. Bukan berarti cinta itu buta, tetapi cinta itu bertanggung jawab. Ketika kamu memulai untuk jatuh cinta pada seseorang, pertahankan itu sampai titik sayang penghabisan, juga sebagai tanggung jawab.

Ketika kamu (mungkin) berpindah ke lain hati, itu karena di hati yang sebelumnya kamu menemukan kekurangan, tetapi jika bagimu kekurangan itu bisa diterima, di situlah cinta bekerja. Kelebihan? Anggap saja itu bonus. Bahkan mengkonversi semua kekurangannya menjadi kelebihan bagi kamu, akan menghasilkan cinta yang luar biasa.

Semoga kita semua terhindar dari jalan setapak tak berujung.

Balasan untuk Jatuh Cinta Diam-Diam






Diam, katanya emas. Jika memang begitu, harusnya orang yang jatuh cinta diam-diam praktis menjadi orang terkaya di dunia. Aku tahu! Mengapa jatuh cinta diam-diam tak kunjung membuat pelakunya kaya? Karena ‘emas’ yang di dapat karena diamnya habis digerogoti rasa penasaran dan kelelahan menebak-nebak.


Sesungguhnya benak orang yang jatuh cinta diam-diam adalah benak yang paling cerewet. Dalam pikirannya, orang yang jatuh cinta diam-diam akan terus berceloteh, bertanya, dan lagi, menebak. Mungkin terlihat tak ada lelahnya. Tetapi sebenarnya tak ada yang pernah menginginkan itu, hanya saja tak ada yang kuasa ketika itu menimpa dirinya.


Pertanyaan demi pertanyaan terus saja menghiasi pikiran. Aku, juga pernah jatuh cinta diam-diam. Kurang atau lebihnya, aku selalu bertanya.

“Apakah dia tahu kalau aku sering memandanginya bahkan ketika dia melakukan aktivitas sekecil apa pun?”

“Apa dia pernah melihatku, menyadari keberadaanku? Atau aku begitu tak nyata?”

“Pernahkah sedikit saja terlintas dalam pikirannya tentang aku?”

“Mengapa dia mengenakan baju dengan warna seperti warna kesukaanku?”

“Mengapa dia menyanyikan lagu favoritku di lorong kelas tadi?”

“Ah, bagaimana bisa dia bercerita ke temannya baru saja menonton film yang sudah berkali-kali aku tonton karena aku sungguh menyukainya?”

“Apakah dia punya perasaan yang sama denganku?”








Aku sering merenung, khususnya di malam hari. Tak mengerti mengapa hubungan antara satu manusia dengan manusia lain bisa begitu rumit, atau dibuat rumit oleh manusia itu sendiri? Entah.

Setahuku, komunikasi bisa meluruskan semuanya, menghilangkan penasaran, menghentikan kamu menebak-nebak. Bicara, dan kamu akan berhenti untuk lelah.

Karena orang yang jatuh cinta diam-diam, cintanya juga bisa berbalas. Balasan berupa penerimaan diam-diam, penolakan diam-diam, atau mungkin diabaikan diam-diam.

Maaf, Aku tidak Sengaja*



Aku tidak sengaja jatuh cinta. Aku tidak sengaja mencuri-curi pandang ketika aku bersama kamu. Dan ketika kamu melihat ke arahku, aku tidak sengaja membuang pandanganku sejauh-jauhnya, lebih jauh dari rekor lempar lembing yang pernah tercipta, hanya untuk tetap menjaga kamu tidak tahu aku sedang memandangmu.

Aku tidak sengaja merasa senang berada dalam satu momen bersamamu. Aku tidak sengaja mengharapkan kamu ada ketika kamu dan aku tidak dalam ruang dan waktu yang sama. Celingukanku membuktikannya.

Aku tidak sengaja berharap semua barang yang kupinjamkan padamu tidak kamu kembalikan sekaligus. Aku tidak sengaja berharap kamu meminjam satu barang lagi dariku setiap kamu mengembalikan barang lainnya. Semuanya tidak sengaja beralasan agar kita tetap bertemu.

Aku tidak sengaja mengaktifkan phenylethylamine dari sistem limbik otakku saat dekat kamu. Dan itu memicu euphoria. Aku tidak sengaja sangat suka suara tawamu terhadap leluconku. Ketika kamu aku goda, aku tidak sengaja nyaman menerima cubitan manja kamu yang mendarat di perutku. Aku tidak sengaja panik jika kehabisan bahasan obrolan ketika aku berbincang dengan kamu. Rasanya dimensi waktu lari terbirit-birit jika aku sedang bersama kamu, seolah kebersamaan aku dan kamu begitu menakutkan bagi waktu.

Aku tidak sengaja menawarkan baju hangatku ketika kamu kedinginan. Ah, aku tidak sengaja terus membayangkan wangi parfummu yang tertinggal di baju hangatku. Terus menerus, hingga pagi menjelang, handphone-ku adalah yang pertama ku-check. Aku tidak sengaja kecewa jika ada SMS namun bukan kamu pengirimnya. Aku tidak sengaja khawatir jika tidak tahu kabarmu.

Demi Tuhan, aku tidak sengaja uring-uringan ketika kamu tidak ada di tempat biasanya ketika aku cari. Aku tidak sengaja mencari tahu banyak hal tentangmu.

Aku tidak sengaja jatuh cinta kepadamu. Aku tidak sengaja benci membayangkan ini semua hanya pesan yang gagal aku decode dengan baik. Pesan yang kamu kirimkan begitu rumit, atau alat pen-decode-ku yang kalut tertutupi canggung, takut, rindu, cemas, harap, dan kawan-kawannya?

Aku tidak sengaja menjadikanmu “karena” dalam setiap “mengapa” yang bermuara di benakku.

Maaf, aku tidak sengaja…

Kamu tidak harus sengaja untuk jatuh cinta.

*Dua teori yang pernah aku dengar: 1) Otak tidak bisa menerima kata ‘tidak’ 2) Tiada ketidaksengajaan di dunia ini.


ditulis setelah melewati bersama momen-momen berharga dalam hidup, untuk kamu

Surat Rindu yang Tak Perlu Dibalas



Bagaimana mungkin pria dan wanita, dua makhluk yang saling bingung karena sifat lawan jenis masing-masing, bisa jatuh cinta?

Bagaimana mungkin pria dan wanita, yang konon berasal dari planet yang berjauhan, yaitu dari Mars dan Venus, bisa saling merindukan padahal sama-sama sedang berada di bumi?

Ah, pertanyaan klise itu memuakkan, memekakkan telinga. Namun apa yang lebih lumrah dari kalimat “aku rindu kamu”? Rindu yang tak berbalas. Setidaknya begitu bagiku.

Semua hal memang tak harus tersurat, tapi tak semua manusia memiliki kepekaan tinggi terhadap yang tersirat. Mulut-mulut itu berucap, “Tenang saja, dia juga pasti merindukanmu.”
Mungkin. Mungkin. Mungkin.
Cuma kata itu yang terus-terusan dimentahkan pikiran melalui mulutku.

Berpikir positif. Ah, sudah. Sejak awal hingga kini aku berpikir positif. Aku menanamkan kalimat “kamu juga rindu aku” dalam benak. Namun benakku tidak cukup bodoh untuk tidak meminta bukti. Kepada semesta, aku meminta bukti sebagai alasan aku bisa tetap terus rela benih kalimat positif tersebut tertanam dalam benak.

Entah aku yang kurang peka membaca sinyal rindu yang kamu beri, atau memang kamu yang belum mengirimnya sama sekali.

Rindu yang tak berbalas membuatku terlihat gila, atau aku memang benar-benar sudah gila. Bahkan ketika seseorang yang memang dikenal lucu melucu di depan banyak orang, membuat orang-orang terbahak-bahak, tetapi tetap saja wajah dan tatapanku seperti hasil persilangan antara layar televisi, kulkas, dan dompetku. Datar, dingin, dan kosong.

Rindu yang tak berbalas itu seperti lubang hitam. Menyedot habis semua senyum, tawa, dan canda yang aku punya.
Kita duduk berdekatan, tapi kita sendiri-sendiri.

Sayang, surat ini tak perlu dibalas. Tetapi balaslah rinduku, maka aku akan tetap waras.

Hanya Sebuah Titik Dua dan Tutup Kurung


Pernahkah kamu mengenal seseorang yang punya pengaruh besar terhadap dirimu, bahkan terlalu besar? Aku, pernah.

Seseorang seperti itu adalah seseorang yang istimewa. Seseorang yang istimewa bisa menjungkirbalikkan mood-mu dalam sekejap. Dia bisa membuatmu yang sedang dalam suasana hati sumringah menjadi diam dan menekuk muka dalam satu kedipan saja. Sederhananya, ketika dia tersenyum aku semakin tersenyum. Namun ketika dia cemberut, apapun suasana hatiku, spontan wajahku ini menjadi kusut.

Ah, apakah ini sebuah ketergantungan? Kamu selalu membuatku kawatir. Kawatir jika kamu pergi, senyumku ini akan bergantung pada senyum siapa lagi?

Sadarkah kamu pengaruhmu begitu besar buatku? Ketika aku kecewa, sedih, bahkan marah, satu simpul senyummu bisa mengembangkan senyumku yang terkubur dalam tanah hati yang gelap.

Sayang, mudah sekali bagimu melengkungkan garis bibirku ke atas atau ke bawah. Kamu tinggal pilih. Jadi aku mohon, tetaplah tersenyum, untukku, bersamaku.

Walaupun hanya sebuah titik dua dan sebuah kurung tutup

Boleh Aku Peluk Lagi?

Satu, saat udara tergerak bulir-bulir hujan, menghembuskan dirinya melewati sela jari dan telingamu. Sontak membuat bulu kudukmu berdiri. Di sana aku ada, menghangatkan.

Lagi, ketika kamu terlelap dalam malam penuh mimpi, entah tentangku atau bukan. Saat gerakan tubuhmu tak sengaja menjauhkan selimut. Namun aku dekat.

Lagi, waktu pertama kamu membuka mata, menghadap ke jendela, menyadari betapa aku tak begitu nyata. Embun pagi hampir ditonggakkan daunnya, pertanda hari segera datang. Aku di sana, menyejukkan.

Lagi, saat kamu pertama melangkahkan kakimu ke dalam rumah di ujung hari yang lelah. Tergeletak di sofa, tertidur bahkan belum sempat melepaskan sepasang kaos kaki merah jambu kesayanganmu. Aku di sana membuat nyaman.

Selalu, ketika air matamu jatuh untuk kesekian kalinya, entah untukku atau bukan. Aku melingkari pundakmu. Semuanya hanya untuk hal sesederhana senyummu. Aku selalu ada, menenangkan.

Aku Yakin Hati Itu Akan Runtuh Juga




Mengapa kamu begitu keras?

Kamu begitu tak tergoyahkan. Menyelami dinding solid yang menampang di hatimu seperti melubangi sebuah batu dengan bermodalkan tetesan air. Namun dengan kesabaran, aku yakin suatu saat nanti hatimu akan runtuh juga.

Kamu bilang, jangan terlalu berharap. Saran yang baik, meski aku tidak terlalu suka itu. Aku hanya berusaha keras, sekeras hati kamu. Aku yakin, usaha sekeras apa pun tak akan cukup tanpa bantuan harapan dan keyakinan pelakunya.

Jangan remehkan cinta ini, sayang. Jangan siakan sabar ini. Dan ketika suatu saat nanti hatimu sudah berhasil kulubangi, cintaku akan menelusup bersatu bersama membran hatimu yang keras. Aku hanya ingin cinta kita menjadi cinta yang keras, tak tergoyahkan tetesan godaan mana pun.

Seperti kata Raesaka yang dimodifikasi, “Tuhan itu adil. Cinta yang hebat diminta bertahan hingga sekarat.”

Mencintai Kekurangan



Mencintai dengan tulus, bukan bagaimana menimbang-nimbang bagaimana kelebihannya bisa kamu seimbangkan dengan dirimu sendiri. Mencintai dengan tulus adalah bagaimana kamu menerima segala kekurangannya. Namun apakah kita mencintai hanya ingin mendapat kekurangannya? Semua orang pasti memiliki kelebihan, akan tetapi anggap saja itu bonus. Agar kelak kita tak jumawa dan memanfaatkan.

Mencintai adalah mengerti. Mengkonversi, bagaimana kekurangan yang dimilikinya diubah menjadi kelebihan. Setidaknya bagi diri sendiri.

Maaf, Cintaku Harus Terbagi



Sebuah cinta, mestinya seutuhnya.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang dibagi. Sejatinya, semua orang ingin dicintai secara total. Satu. Kadang cinta tak cukup mencintai satu.

Sebelum yang kamu cintai sekarang, pasti ada orang yang pernah kamu cintai juga. Akan begitu seterusnya. Namun ini semua bukan tentang cinta yang tertinggal, tetapi bagaimana kamu menggunakan cinta yang ada, untuk mencintai dengan penuh.

Percayalah, sebuah cinta akan terisi dengan sendirinya sampai penuh. Kadang sampai luber.

Cinta yang berlebihan, apalagi kekurangan, sama-sama tak baik. Tapi kita hanya manusia biasa. Kadang cinta yang sudah satu, digunakan mencintai seseorang–yang tanpa alasan jelas bisa pergi sewaktu-waktu– dalam sebuah kurun waktu, hingga saatnya ada orang baru. Cinta yang berlebihan, pada saat yang tepat, pada saat yang disepakati itu benar, harus dibagi.

Maafkan aku, sayang. Sepertinya cintaku yang satu, kepadamu, kelak akan terbagi. Aku tak akan kuat menahan terbaginya cintaku yang satu ini. Aku sudah melihat cinta yang ini akan berlebihan, aku membutuhkan wadah yang baru untuknya. Entah dirimu akan terima atau tidak, tetapi aku harus membagi cinta yang satu ini.

Kelak, cintaku akan terbagi, untuk seorang gadis. Seorang gadis kecil yang di pagi hari nanti aku ikatkan tali sepatunya pada hari pertama ia sekolah, yang mencium tanganku sebelum melangkahkan kaki kecilnya ke dunia yang baru, yang ketika dalam malam yang sama aku pulang dia bergegas menghampiri, “Ibu, ayah pulang!” seraya berteriak memanggil kamu.

Berkenankah, kamu?

Tak Ingin Malu pada Badai dan Kerikil


Pernahkah kamu melihat badai sebesar itu?

Pernahkah kamu melewatinya?

Banyak di antara kamu pasti pernah melewatinya. Punya banyak hal untuk diceritakan, dibanggakan. Bersukur karena telah melewati badai terbesar yang pernah kamu temui. Merumuskan cara yang mungkin kebetulan kamu temui saat melewati badai besar tadi, dan membuat daftar apa saja yang perlu disiapkan saat menemui badai sedahsyat itu.

Semua yang besar, akan jelas terlihat, akan cukup waktu untuk menyadarinya dan kemudian bersiap menghadapinya. Namun bagaimana kisahnya jika badai itu kecil? Bahkan lebih kecil dari badai, mungkin juga lebih kecil dari kerikil pantai.


Ketika kamu menemui sebuah badai, badai yang besar. Kamu akan menyadarinya lebih awal. Akan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri. Semua itu bisa mendukungmu melewati semuanya, meski sendiri.

Akan tetapi, jika bentuknya kecil, anggap saja lebih kecil dari kerikil, kadang kamu tak pernah menyadarinya. Kamu tak punya persiapan. Kamu tak punya ancang-ancang. Bahkan cenderung meremehkan, menghadapinya begitu saja. Hasilnya apa? Kaki yang berdarah. Rasa sakit yang menyelinap ke dalam, perlahan.

Sesuatu yang kecil bisa menyelinap dan menghancurkan dari dalam. Dan yang paling menakutkan adalah, semuanya terjadi tanpa sempat kamu sadari.

Ironis rasanya mengetahui bagaimana seorang manusia bisa dengan percaya diri dan mudahnya melewati sebuah badai yang besar. Namun dalam waktu yang sama mengetahui ada beberapa pasang manusia yang bisa hancur hanya karena kerikil kecil.

Sepasang manusia yang akhirnya rela saling melepaskan genggaman tangan hanya karena ancaman kerikil kecil, padahal sebelumnya pernah melewati puluhan badai yang luar biasa besarnya berdua. Logikanya, sepasang manusia yang berhasil melewati badai berdua atas nama cinta pasti lebih bisa melewati kerikil kecil. Namun sekali lagi, cinta seringkali tak sejalan dengan logika.

Badai yang besar harusnya malu kepada kerikil kecil. Dan sepasang manusia yang kehilangan cinta hanya karena kerikil kecil, akan tertutup mukanya oleh pasir yang terbawa angin badai.

Aku tak ingin malu di depan badai dan kerikil, beserta pasir yang senantiasa menyertai mereka.

Sebuah cinta, semestinya lebih digdaya dari badai dan kerikil yang melanda.

Kepada kamu, genggam tanganku. Kita lewati badai, kita langkahi kerikil.

Cuma Satu Ketidakpastian

“Mencinta, harusnya layaknya dendam. Mesti berbalas.”

Beberapa orang pernah merindu hingga menangis.

Ingin memeluknya hingga sesak napas.

Semua semata karena tak ada balasan darinya. Jangankan balasan, tahu pun dia tidak. Jatuh cinta sendirian membuatmu kuat, memiliki tenaga layaknya monster, hampir tak terbatas.

Namun semuanya habis diserap penasaran, diserap prasangka yang dibangun sendiri, kemudian jumlahnya menjadi minus ketika persepsi baik yang kamu bangun bangun sendiri ternyata salah.

Berhentilah menebak-nebak. Melelahkan. Jika dia tak bisa memberikanmu kepastian. Mintalah. Rebut kepastianmu sendiri. Jangan biarkan hatimu kaududukkan di kursi yang bahkan kursi itu tak ingin diduduki, atau sudah ada yang menduduki hanya saja sedang pergi sejenak.

Bicara, maka semua penasaran akan sirna.

Karena cuma satu hal yang pasti, yaitu ketidakpastian.

Minggu, 28 April 2013

Bebaskan Hati, Terbangkan




Beberapa orang menunggu, dan beberapa orang lainnya tak tahu sedang ditunggu.

Lantas salahkah dia jika dia terus berjalan ke depan? Semakin menjauh.

Orang yang jatuh cinta namun hanya menunggu, lebih sia-sia dari menggarami air laut. Jangan pernah salahkan orang yang ditunggu jika mengungkapkan perasaan saja tak mampu.

Kebesaran cinta tak bisa diukur dengan seberapa lama menunggu, tetapi seberapa berani menungkapkannya dengan tulus dan cara yang indah.

Cinta yang utuh tidak layak menunggu terlalu lama, karena seiring berjalannya waktu hati itu akan habis dimakan sendiri.

Mencinta diam-diam adalah hal paling egois di dunia. Tak ada yang lebih egois dari seseorang yang memenjarakan hatinya sendiri. Begitu besar egonya menahan rasa cinta yang begitu ingin menyeruak ke luar, terbang bebas ke hati yang ingin disinggahinya.

“Aku takut hatinya enggan menampungku.“

Itu hanya alasan yang diada-ada sebuah sangkar hati yang egois. Hati sudah terlalu kenyang dengan alasan aku tak pantas untuk dia, aku bukan siapa-siapa baginya, dia tak menginginkanku, dan alasan egois lainnya.

Jangan kekang cinta. Bebaskan, terbangkan, maka ia akan kembali dengan sangkar barunya yang indah, untukmu. Layaknya burung camar terbang mengarungi sore yang indah di pesisir pantai.


Aku terduduk di sini. Di persimpangan jalan menjadi saksi kamu pergi. Sejak kamu pergi, dingin menyerang lagi. Namun kali ini bertemankan sepi.

Aku menyaksikan punggungmu perlahan menjauh. Meninggalkan aku dengan hati berjuta gaduh. Entah akankah kamu kembali berlabuh. Tepat di mana hatimu pernah terjatuh.

Aku tak bisa menjadi cahaya. Dalam setiap langkahmu yang penuh lara. Hingga kamu akhirnya memilih dia. Tinggal aku berpeluh luka.

Aku hanya berangan. Menjadikanmu sejuta kenangan. Dalam hati yang penuh harapan. Lupakan aku? Jangan.

Kamu tak perlu meragu. Jika kelak kamu lupa aku. Aku masih di sini terbujur kaku. Obati luka satu persatu.

Kepada Kamu, dari Pundak yang Tak Pernah Lelah



Sudah berapa tetes air mata yang keluar karenanya, dan aku yang mengusapnya?

Sudah berapa senyum yang hilang karenanya, dan aku yang memunculkannya?

Kamu tak pernah benar-benar sadar, atau pura-pura tak sadar apa yang aku lakukan selalu saja tentang kamu. Semoga bukan karena kamu tak mau sadar.

Melakukan apa pun untukmu selalu membuatku resah. Tidak, aku tak memikirkan balasan yang mungkin tak akan aku terima, atau senyum yang sedari awal bukan untukku. Aku hanya gelisah apakah kamu bertahan karena adanya cinta, atau terpaksa. Sampai akhirnya aku menyadari satu sosok dalam cermin. Aku yang bertahan, untukmu.

Entah. Aku tak tahu benar ini tentang cinta. Namun yang aku tahu, cinta memang berkorban sampai sebegininya. Pengorbanannya tak pernah terbatas. Sayangnya kadang tak pernah berbalas.

Akan tetapi apakah cinta yang agam harus bertahan sampai lebam?

Pundakku tak punya kata lelah menampung segala resah dan air matamu untuknya. Ya, tak pernah untukku. Kamu menangis kepadaku, tapi tangisanmu bukan untukku. Setelah semua yang aku lakukan, seketika kamu tersenyum kepadaku, tetapi kemudian menyimpan sebagian besarnya untuk dia.

Jangan salahkan aku terus mendoakanmu bersedih, karena hanya saat itu kamu datang, duduk di sampingku, merebahkan kepala di pundakku.

BENANG KUSUT menuju hatimu



Foto: spesial

Mencintai kamu tak pernah mudah. Seperti mengumpulkan sekeping demi sekeping peta menuju hatimu. Sudah kususuri lika-likunya, akan tetapi tak kunjung mencapai cintamu. Bahkan sampai menyentuh pun tidak.

Kadang aku tak mengerti, apakah aku yang tidak cukup berusaha meraihnya, atau jalan menuju ke sana yang terlalu rumit? Ya, aku sedang berbicara tentang hatimu. Jika kamu memang punya perasaan yang sama denganku, mengapa bisa serumit ini?

Atau kamu hanya berusaha memperumitnya agar aku tak pernah sekalipun berhasil sampai ke sana?

Apakah cinta seperti ini? Hanya satu pihak yang berusaha meraih ke pihak lainnya?

Aku yakin itu, cintamu begitu berharga. Oleh karenanya aku rela mati berdiri sambil mencari jalan menuju ke sana. Namun apakah arti cintaku bagimu? Sehingga semuanya harus selalu aku. Apakah hatiku tak cukup berharga bagimu sehingga kamu tak berusaha menggapainya sama sekali?

Aku merasa langkah yang harus aku tempuh menujumu seperti benang kusut. Dan aku terjerat di dalamnya. Tak pernah menggapai ujung, tak juga mampu keluar.

Tolonglah, sayang, jangan biarkan aku mencari yang lebih sederhana. Aku hanya mau kamu. Maka, maukah kamu menyederhanakan cinta?

Sederhanakan cinta. Sesederhana namaku diucap ibu dalam doa.

Lembaran Baru yang Tertinggal



Halaman demi halaman aku tulis, bersama kamu. Sekian lama harusnya kisah ini cukup kamu mengerti. Atau aku mestinya cukup pahami. Namun cinta tak pernah sederhana. Pahit, iya.

Pena dengan tinta hitam kita ukir selengkung demi selengkung. Beberapa halaman penuh coretan karena amarah yang merana, atau kadang terciprat cemburu yang memburu.

Semuanya kita lanjutkan, karena aku anggap hidup harus terus berlanjut. Dan cinta ini, adalah hidup. Setidaknya bagiku. Aku sudah meninggalkan halaman usang di belakang. Aku berpegang sampai nyawa ini kuregang, kamu yang aku sayang. Setidaknya sampai rasa itu hilang. Entah terjadi atau tidak, ah, jika iya rasanya begitu malang.

Aku mencintamu dengan terlanjur. Aku rela merebahkan jasad hingga terbujur. Kamu diam seribu bahasa, aku lelah menenun asa. Sekali lagi, tak bisakah kamu menunggu? Mencoba mengerti? Atau mungkin sedikit saja pahami? Yang aku tulis dalam hati selalu kamu yang kucintai.

Pegang pena ini bersama, guratkan kisah kita.

Ah, maaf, cerpen kita maksudku. Nampaknya cerita ini terlalu singkat untuk disebut kisah.