Sabtu, 08 Juni 2013

For You :)

- Be Romantic
- Protect Me
- Forgive Me
- Pray For Me
- Hold Me
- Love Me
- Comfort Me
- Respect Me
- Support Me

Alasan Kenapa Orang Bertahan Sejauh Itu



Suara yang cocok didengarkan sambil baca postingan ini: Aku Harap Kamu Dengar


Pernah gak kamu bertanya, “Kenapa aku bertahan sampai segininya?” Padahal keadaan gak memungkinkan lagi, mustahil buat bersama.

Kadang, seseorang gak tau alasan mereka bertahan sejauh itu dan melampaui batasnya.

Ketika seseorang suka sama orang lain, dia pasti akan mencari tau banyak tentang orang itu. Gimana kabarnya dia, latar belakangnya, kebiasaannya. Kemudian dia akan menyesuaikan informasi-informasi tentang dia yang disuka dengan kebiasaan yang selama ini dia pegang. Bahkan beberapa orang ada yang memaksakan dan rela mengalah demi menyesuaikan kebiasaan dengan orang yang disukai itu. Contoh sederhananya adalah kalo kamu suka sama orang lain, maka apa yang menjadi kesukaannya adalah kesukaan kamu juga. Misalnya ketika kamu suka orang dan orang itu suka klub bola tertentu, kamu bakal suka (atau mau gak mau mencoba) suka sama klub bola yang sama dengan dia.

Itu namanya pengorbanan. Kemudian kondisi-kondisi yang sama tadi diartikan sebagai ‘kecocokan’ supaya dia mau sama kamu. Kemudian pada kasus beberapa orang yang beruntung gak dapet penolakan, hubungan itu diteruskan ke pacaran. Pada masa itu, bukan berarti semuanya sudah cocok dan baik-baik aja. Selalu ada berantem atau semacamnya karena adanya ketidaksesuaian. Tapi bagi yang bisa mengelola keadaan dan berhasil melewatinya, bakal jadi ‘pelajaran penyesuaian’ diri satu dengan yang lain.

Semakin lama, semakin banyak ‘pelajaran’ yang dilewati. Semakin mengerti satu sama lain. Dan ketika semua ketidaksesuaian gak bisa lagi ditolerir, di sinilah semuanya berawal. Ada dilema datang, mau udahan, atau bertahan.

Dan seperti yang gue bilang tadi di atas, ada yang memutuskan untuk bertahan tapi gak tau alasan pastinya. Mungkin sebenarnya mereka bukan gak tau, cuma bingung yang mana karena alasan itu terlalu banyak atau terlalu samar. Kemudian berpikir semua ketulusan yang dilakukan adalah sebuah kebodohan.

Yang pasti, alasan mereka untuk bertahan gak akan jauh-jauh dari…

Pengorbanan. Semua pengorbanan yang dulu dilakuin semata-mata biar kamu sesuai sama dia, gak mungkin dilepasin gitu aja. Pengorbanan itu berubah menjadi kebiasaan dan ketika waktunya sudah terlewat, menjadi kenangan yang sulit dilupakan.


Ketika hendak menyerah, ingatlah apa yang sudah kamu lakukan sampai sejauh ini.

Keengganan memulai dengan yang baru. Memulai lagi, dari awal lagi, menyesuaikan lagi, berkorban lagi. Beberapa orang terlalu malas, atau terlalu takut melakukan hal ini.


Memulai itu gak pernah mudah.

Gak tergantikan. Orang yang bertahan sampai sebegitunya gak mungkin rasanya kalo buat orang yang biasa-biasa saja.


Mungkin banyak yang lebih baik dari dia, tapi yang sama kayak dia, gak akan ada.

Alasan terakhir. Katanya, ketika kamu jatuh cinta dengan sangat kepada seseorang, kamu gak akan tau kenapa. Mungkin alasan itu akhirnya berhasil ditemukan. Sebuah kata sederhana yang diterapkan dengan rumit, “Sayang”.


Lalu gimana dengan kamu? Perasaan kamu itu stuck, atau sayang? Kamu itu tulus atau bodoh?

(Untuk Mereka yang Takut Kehilangan) . READ , it is TRUE

“Sesuatu yang harusnya keluar harus dikeluarkan. Kalau nggak, bisa bikin gelisah.”

intinya adalah tentang… perasaan.

Ditanda Kutip dulu arti "PACARAN"

Pacaran itu sesuatu yang indah, sesuatu yang seru, sesuatu yang… bisa ngisi hari-hari. Tapi ketika semuanya berjalan seiring waktu, ada perasaan baru -dan berbahaya- yang timbul, yaitu takut kehilangan.

Rasa takut kehilangan itu membebankan, is it true? :)

Semakin indah, semakin baik, semakin sempurna seseorang di mata kamu, maka semakin takut kehilangan kamu akan dia. Rasa takut kehilangan ini kadang memunculkan tindakan-tindakan irasional. Misalnya dalam pacaran, rasa takut kehilangan seringkali jadi dalang timbulnya cemburu buta. Gak pernah rela sedikit pun ngeliat dia kenal sama seseorang yang punya kelebihan dibanding kita.

Sebagai contoh kalau kamu pacaran sama seorang yang suka musik, tapi kamu gak jago main musik, terus pacarmu punya kenalan anak jago musik dan keren. Kamu bisa cemburu kalau tau dia deket sama orang tadi, meski hanya sebagai teman.

Rasa takut kehilangan. Ada “rasa” pada frase tadi. Sesuatu yang berasal dari perasaan seringkali melumpuhkan pikiran. Kamu gak akan bisa berpikir jernih kalau rasa takut kehilangan mengendalikan. Kamu akan melakukan apa pun, entah itu mengubah diri dan berusaha membuat diri menjadi sempurna, atau mengubah dia. Intinya biar dia gak pergi, bahkan gak jauh dari kamu. Hasilnya… dia bisa aja gak nyaman dengan perlakuan itu.

Ketika rasa takut kehilangan menyetirmu dengan segala tindakan gak logisnya, dia semakin gak nyaman, dan akhirnya benar-benar pergi.


Rasa takut kehilangan seringkali malah jadi kenyataan.

Banyak orang yang akhirnya berpisah sama orang-orang yang dia sayang cuma karena rasa takut kehilangan. Tapi ketika sendiri pun, rasa itu bisa datang lagi dan menghantui.

Takut kehilangan padahal memiliki saja belum. Hal ini sering banget terjadi pada mereka yang jatuh cinta diam-diam, mengagumi dalam bisu. Belum memiliki, bahkan kenal pun belum, tapi sudah berpikir terlalu jauh. Ujung-ujungnya… nyesek sendiri.

Bahkan pada tahap paling awal dua orang bertemu pun, rasa takut kehilangan bisa muncul. Misalnya pas sebelum kenalan, sering banget seseorang mikir, “Gimana nanti kalo dia gak mau? Terus kalo dia mau tapi gak bisa berlanjut dengan baik gimana? Gue harus mulai dari mana? Gue mesti gimana?”

Dari situ aja, bisa diliat kalau seseorang yang bahkan belum kenal pun bisa takut kehilangan.

Pada akhirnya kaliN menyadari bahwa rasa takut kehilangan bukan ada karena kita memiliki. Tapi tumbuh bersama-sama dengan harapan untuk memiliki.

Dan semua diawali dengan terlalu berharap.

Mereka yang baik dalam menjaga hatinya adalah mereka yang berhasil mengendalikan harapan-harapan dalam dirinya.

Yakin Kamu Rela ?



Aku lupa sudah berapa kertas dari bukuku yang kutuliskan namamu di atasnya.

Masa-masa sekolah, layaknya yang digambarkan di televisi, selalu penuh dengan kenangan-kenangan. Masa-masa itu yang paling berkesan. Ada yang diisi dengan kebahagiaan, tapi berakhir dengan kepahitan.



Setiap pagi, mungkin ada dari kamu yang begitu semangat datang ke sekolah cuma karena ada dia yang dipuja. Sesampainya di sekolah, langsung sepik-sepik lewatin kelas dia, cuma pengin tau dia udah datang atau belum. Malahan ada juga yang selalu merhatiin tempat parkir, biar tau berarti dia udah datang kalau ada motor dia terparkir di sana.

Waktu upacara, nggak ada lagi kerjaan selain nyari ke sekeliling, dia yang dipuja berdiri di sebelah mana. Beberapa kali merasa jodoh, cuma karena bisa berdiri sebarisan sama si dia. Ya, secret admirer memang terlalu gampang bahagia.

Waktu belajar, yang dibayangin cuma dia. Bahkan ada yang cukup berani nulis namanya di halaman belakang buku catatan, meski hanya inisial.

Ketika udah nggak tahan lagi sama pelajaran yang gurunya lebih membosankan, mulai sok-sokan izin ke toilet dan sengaja lewat kelasnya. Kalaupun si dia lagi nggak ada di kelas, ngeliat tasnya aja udah seneng.

Saatnya istirahat, suka banget diem-diem ngeliatin dia bercanda sama temen-temennya. Ngeliatin dia senyum dan ketawa, memancing kamu juga ikut tersenyum… lalu membuang muka sejauh-jauhnya ketika dia sadar sedang dipandangi.

Buat yang cowok, seringkali menahan panas hati ketika si dia yang jadi inceran digodain sama anak cowok lain, apalagi kakak kelas. Buat yang cewek, seringkali meleleh ketika sang pujaan lagi gitaran dan nyanyi bareng temen-temennya… padahal nyanyian itu bukan buat dia.

Terasa begitu membahagiakan di sekolah, selama ada dia. Bahkan libur sehari pun rasanya terlalu lama.

Sayangnya, masa-masa itu akan segera berakhir.


Memang sakit mengetahui seseorang yang kamu sayang akan pergi, dan kamu gak bisa berbuat apa-apa.

Beberapa suka sama seniornya di sekolah, dan sebentar lagi UN. Ada juga yang sebagai senior, terus suka sama juniornya. Dari kedua hal itu, ada satu persamaan, yaitu: sama-sama gak akan bisa ngeliat sang pujaan lagi.

Pertanyaannya adalah…

Apa kamu rela dia pergi tanpa tau seberapa besarnya perasaan kamu?


“Kalau jodoh, nggak akan ke mana, kok.” Buat yang nyeletuk itu dalam hati setelah baca postingan ini, gue cuma bisa ngucapin: jangan menyesal.

Satu lagi pesan dari gue… Dua hati yang ingin dipertemukan dalam satu cinta… itu membutuhkan momen. Dan mungkin, ini saatnya.

Ada hati yang tidak selamat ketika terucap selamat tinggal.




Kadang Pertemanan Menjelma Menjadi Pembunuh Sebuah Cinta





Sebuah bangkai bisa jadi tak akan pernah tercium selamanya… jika seseorang yang mencium baunya pura-pura tidak mencium, atau menyangkal sedang mencium bau bangkai.

Namun perasaan cinta bukanlah bangkai. Meski terselip dalam sebuah hubungan rumit bernama “pertemanan”, perasaan tetaplah perasaan. Gue orang yang percaya pada sebuah ungkapan…

Cewek dan cowok tidak pernah bisa menjadi best friend sepenuhnya.


Intensitas ketemu, ngobrol, dan saling terbuka mungkin saja perlahan, sedikit demi sedikit menumbuhkan benih-benih cinta, atau minimal suka. Dalam sebuah pertemanan seorang cowok dan cewek, bisa aja ada salah satu pihak yang sempat berpikir, “Dia baik banget. Mungkin gak sih gue suka sama dia? Apa mungkin kita jadian?”

“Kalau bukan suka? Kenapa gue cemburu kalo dia sama yang lain? Padahal kita cuma temen.”

Dan akhirnya pemikiran dan perasaan itu dibunuh dan dikubur dalam-dalam dengan batu nisan bertuliskan “atas nama pertemenan” tertancap di atasnya.

Dari contoh di atas, kadang gue berpikir pertemanan itu kejam. Sebuah pertemanan di antara dua manusia berbeda jenis kelamin, kemudian tumbuh rasa-rasa di dada. Apakah itu semua salah manusia? Bukankah cinta datang sendirinya tanpa diduga-duga?

Banyak orang yang rela membunuh rasanya sendiri hanya untuk menyelamatkan kedekatan dengan dia (dalam wujud teman) yang dipuja, dan untuk tetap bisa menjalani kebiasaan-kebiasaan bersamanya (meski dalam wujud teman).

Sederhananya, ada yang memilih memendam rasa hanya karena takut jadi jauh karena dia gak punya perasaan yang sama.

Memang kadang rasa cinta yang tiba-tiba ada bisa menghancurkan jalinan pertemanan yang sudah dibangun sejak lama. Atau sebaliknya, status pertemanan yang ada membunuh sebuah cinta yang bersemi tiba-tiba.

“Nggak kok. Gue sama best friend gue gak ada rasa apa-apa.”

Mungkin kamu bilang nggak. Mungkin dia bilang nggak juga pas ditanya.

Tetapi di dalam hati, gak ada yang pernah tau… bahkan diri kamu.


Lalu, siapakah yang berharap dalam hubungan pertemanan kamu dengannya? Dia, atau kamu?

Dan sampai kapan mau membohongi diri sendiri?

Pertanyaan terakhir dalam hidupmu adalah…

Apakah pertemanan dan kedekatan itu lebih berharga dari rasa cinta yang tercipta? Dan apa kamu tega membunuhnya?

Padamu yang Telah Lama Pergi



Aku benci mengucap “selamat jalan”. Seperti melemparkan begitu saja kenangan demi kenangan.

Melambaikan tangan padamu tak pernah terasa madu. Layaknya menghunuskan pedang rindu, kemudian malah dihunjam detik sendu.

Urusan merelakan selalu pelik. Seperti menarik keluar hati, kemudian mengirisnya dengan sebilah belati.

Perpisahan bukan hanya perihal membukukan mesin waktu. Namun malah mengaktifkan bom waktu. Hingga semua meledak dalam ribang yang agung. Tak pernah aku rasakan damba yang sebegininya. Selain sejak ditinggal kamu, sesaat setelah lengkung senyummu lenyap ditelan cahaya berkecepatan tinggi. Bergerak menjauh. Semua hanya mendekatkan aku, pada kesepian.

Selalu memejamkan mata, masih mencoba menyeman sunyi, yang hadir malah bayangmu. Lagi. Aku hembuskan percik kenangan di membran kepala, kemudian menyundut api kesendirian. Lalu aku terbakar di dalamnya. Bersama kamu. Kenangan kita.

Hingga kini. Aku masih melambaikan tangan ini. Padamu yang telah lama pergi.

Pagi Adalah Kamu



Pagi adalah di saat mimpi atau kenyataan tak lagi penting, yang penting ada kamu.

Pagi adalah ketika aku berpikir bahkan mimpi paling indah pun tak ada apa-apanya jika aku melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah ketika aku memulai berdoa lagi melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah ketika aku menebak-nebak baju apa yang akan aku pakai agar nanti bisa terlihat serasi denganmu.

Pagi adalah menebak-nebak untuk berangkat jam berapa yang sesuai agar aku dan kamu berpapasan di jalan.

Pagi adalah semangat baru, membayangkan akan bertemu kamu yang tersenyum, meskipun bukan padaku.

Pagi adalah mencari-cari. Mencari kabar terbaru tentangmu.

Pagi adalah ketika matahari tersipu malu melihat kamu tersenyum. Dia menganggap dirinya jantan, dan kamu matahari betina.

Pagi adalah mengkhayal kamu adalah sisipan alunan dalam senandung harva malaikat pagi.

Pagi adalah mengkhayal lagi, mengkhayal kamu adalah malaikat pagi itu sendiri.

Pagi adalah ketika aku mengabaikan pesan dokter. Katanya, sarapan itu sehat, aku malah sarapan memikirikan kamu.

Pagi adalah ketika logikaku berkata “Kamu cuma kegeeran.” dipatahkan oleh perasaan yang berkata “Bukan, kamu jatuh cinta.”

Pagi adalah deg-degan membuka SMS di handphone, berharap itu dari kamu. Dan kecewa ketika tahu itu cuma promosi dari provider seluler.

Pagi adalah… Saat aku rindu kamu.

*sebuah siratan yang akhirnya tersurat dari suratan sebelumnya

Maaf



“Nila setitik rusak susu sebelanga.“

Aku pernah berpikir keras bagaimana kalimat di atas bisa benar-benar merepresentasikan keadaan dalam kenyataannya. Aku selalu benci mengapa pengaruh negatif selalu lebih kuat dibanding yang positif.

Bagaimana mungkin nila yang hanya setitik itu bisa merusak susu sebelanga banyaknya? Tentunya tergantung kadar si nila itu sendiri. Namun yang aku tahu, keburukan sering kali lebih kuat. Contohnya orang terbaik yang pernah kamu kenal, sekali dia melakukan kesalahan/keburukan, kontan semua kebaikannya seakan luruh, sirna, sia-sia.

“Ketika dia berbuat salah, ingatlah kebaikannya.”

Tentu saja hal itu diperlukan, agar apa? Agar kita menjadi hamba yang pemaaf, tidak melebihi sifat Tuhannya, namun berusaha mengikuti jalan-Nya. Namun masih ada yang kurang dari ungkapan tadi, mesti ditambah sebaliknya, “Ketika dia berbuat baik, ingatlah kesalahannya. Hanya agar kamu tetap waspada.“

Ya, memang apa pun yang berlebihan, tidak baik. Seperti halnya memaafkan, dan membenci. Membencilah, marahlah, kecewalah dengan sewajarnya, agar kamu bisa dengan wajar memaafkan.

Aku Hanya Ingin Mencintai, Bukan Melukai





Mencinta adalah mengambil risiko tak dicintai kembali. Mencintai tanpa harus memiliki? Aku rasa hanya ada dalam dongeng. Setiap cinta, sedikit atau banyak, akan meminta kembali, meskipun hanya berupa senyuman bahwa dia cukup bahagia disajikan cinta walaupun tak punya cinta untuk membalas.

Mencintai diam-diam adalah sebuah keharusan menyiapkan diri mendapat balasan cinta diam-diam pula, atau penolakan diam-diam juga.

Semua orang hanya ingin mencintai dan dicintai. Namun mana yang harus didahulukan? Mencintai atau dicintai. Beberapa orang mencintai dan berharap dicintai, beberapa lainnya hanya akan mencintai jika ia dicintai terlebih dahulu. Ada persamaan hasil antara kedua hal tersebut, luka.

Pengharapan selalu berbanding lurus dengan kemungkinan kekecewaan yang didapat. Semakin kamu berharap, maka semakin besar kemungkinan kamu akan kecewa.

Mencinta seperti menggenggam seekor burung. Jika kamu menggenggamnya terlalu erat, maka akan mati. Namun jika menggenggamnya terlalu longgar, dia akan pergi. Jika kamu melakukan salah satu dari kedua hal tersebut, tetap hasil akhirnya adalah luka. Di hatimu, atau hatinya.

Pilih mana? Aku selalu benci pilihan, tapi lebih benci lagi jika tidak punya pilihan sama sekali. Ada kalanya ketika kamu hanya ingin mencintai, kamu hanya berakhir dengan melukai.

Aku lebih baik dilukai, karena ketika kamu dilukai kamu selalu punya objek untuk disalahkan, dimaki-maki. Apa bedanya dengan melukai? Melukai orang lain, apalagi orang yang kamu sayang, hanya menyisakan dirimu sendiri untuk disalahkan. Selamanya, kamu hanya bisa menyalahkan diri sendiri.


“Kamu hanya bisa melihat dirimu hancur di depan bayanganmu sendiri.“


Aku hanya ingin mencintai, bukan melukai.

Dendam yang Dititipkan pada Tuhan



“Aku sakit hati. Tunggu saja, karma akan membalasmu.”

Sepenggal kalimat tadi sering kita dengar di acara sinetron, atau terdengar dari mulut sendiri atau hati kecil kita.

Karma. Mungkin itu salah satu alasan yang membenarkan kita menjadi seorang pendendam, dengan meminta bantuan semesta, dalam kasus ini, Tuhan. Apakah Tuhan begitu pendendam dengan mengajarkan dendam kepada umat-Nya? Atau Dia hanya berlaku adil? Entah, yang aku tahu, nabi mengajarkan untuk mendoakan yang baik meskipun kepada orang yang berbuat jahat pada kita.

Namun kita hanya manusia biasa. Ya, itu alasan yang paling sering dilontarkan ketika kita tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menjadi manusia yang luar biasa.

Ketika mendapatkan sesuatu yang buruk dari orang lain, kita sering memohon Tuhan ‘membalaskan dendam’ dengan berucap, “Biar Tuhan aja yang balas.”

Bagaimana jika perlakuan buruk itu merupakan balasan ‘dendam’ orang lain yang pernah kita sakiti pula di waktu sebelumnya, yang dia titipkan melalui Tuhan? Sekali lagi, entah.

“Mata harus dibayar dengan mata.” Seorang pendendam biasanya memiliki prinsip seperti itu, atau lebih buruk. Namun aku ingat apa kata Mahatma Gandhi.

“‘Mata dibayar dengan mata’ hanya akan membuat dunia (kamu) buta.”

You Know You’re In Love



You know you’re in love when you can’t keep your eyes off of her.

You know you’re in love when you can’t get your eyes off of her.

You know you’re in love when you do everything to find out her name.

You know you’re in love when you really want to have a chat with her even though she doesn’t know you at all.

You know you’re in love when anything about her becomes the most important knowledge to you.

You know you’re in love when you hate that you got no idea about her.

You know you’re falling in love when you really hope she has a twitter account so that you can follow her and know many things about her.

You know you’re in love when you really expect your facebook friend request to be confirmed.

You know you’re in love when you really want her to update her twitter or facebook page.

You know you’re in love when you check her facebook page all the time.

You know you’re in love when you’re seeing her picture on and on and you can’t stop at all.

You know you’re in love when you wait for her online nervously.


You know you’re in love when you don’t want to delete all the comments and messages from her.

You know you’re in love when you see her then your heartbeat’s sound is being louder and louder, but you’re voice becomes quieter and quieter.

You know you’re in love when you can’t talk in front of her at all, but you know you really want to.

You know you’re in love when you want to make her smile all the time, as much as you can.

You know you’re in love when her pheromone becomes your new favorite smell.

You know you’re in love when you hope the rain wouldn’t stop when you and her take shelter.

You know you’re in love when you feel the time is going so fast, even too fast, when you’re with her.

You know you’re in love when ‘goodbye’ becomes the hardest word to be said and ‘hello’ becomes the word that you would really miss.

You know you’re in love when your phone rings and you hope it’s her.

You know you’re in love when the phrase “nobody is perfect” becomes a bullshit because she’s perfect for you.

You know you’re in love when you feel there’s nothing left when you’re with her. You know you’re in love when you realize that your writing contains so many “you know you’re in love”.

Hujan Lagi, Melamun Lagi





Ah, hujan. Aku selalu suka hujan. Hujan itu waktu yang tepat untuk melamun. Melamunkan bulir-bulir kenangan yang turut bersama air dari langit.

Hingga akhirnya gravitasi membuatnya menghujam tanah, bentuknya seperti jarum. Begitu, terasa menusuk dan sakit walau sedikit. Membuat terhenyak walau sejenak.

Seperti biasa. Aku melamun duduk di sofa, menatap kaca jendela, tepat di depannya, menyaksikan air turun menyusuri. Bagai melihat sebuah film, film berjudul namamu. Semua hanya wajahmu yang terproyeksikan.



Hingga akhirnya hujan reda, yang tersisa hanyalah hujan yang baru. Di mataku, karena rindu.

Bagaimana mungkin hadir lagi pelangi di hati yang basah ini? Sedangkan kamu, sang mentari, pergi dibayangi awan kelabu penutup mimpi. Kembalilah, buat mataku berwarna lagi.

Ketuk saja kelopak mataku jika kamu sudah temukan lagi kuas kasih itu.

Es Krim “Rasa Kamu”





“Hati kamu dingin. Aku taburi serpihan rindu. Biarkan sepi jilati heningnya. Hingga relung pelukmu menghangat.”

Aku terbangun lagi. Memikirkan kamu lagi. Aku melakukan kesalahan lagi. Aku nyalakan komputer, masih mencoba menulis tentang kamu. Aku buka media player, aku double-click lagu John Mayer. Ya, salah. Sebab sejak mendengarkan lagu-lagunya, aku jadi sering tertukar antara mimpi dan kenyataan.



Buktinya, aku masih mengejar cintamu. Aku tersesat. Aku di antara mimpi dan kenyataan. Di sana ada sebuah kereta es krim dengan warna mencolok. Aku yang kehausan, dahaga karena teriknya rasa kehilangan ini, menghampirinya. Aku celingukan mencari siapa penjaga kereta es krim itu. Tak menemukan siapapun.

Aku sajikan saja es krimku sendiri. Di sana ada tulisan kecil terkesan seperti sebuah memo, “Es krim rasa kamu.”

Aku tak mengerti. Apakah maksudnya rasa seperti apa yang diinginkan atau seperti apa? Belum selesai aku berdebat dengan pikiranku, tangan ini -dibantu dahaga tak berkesudahan- bergerak sendirinya mengambil sendok es krim kemudian mengambil beberapa scoop kecil es krim. Aku ingat, aku ambil 9 scoop es krim. Ya, aku haus, tapi tak biasanya aku serakus itu. Aku ambil es krimnya sesuai angka kesukaanmu, 9. Itu saja.



Aku duduk di sebuah kursi panjang di taman yang dijatuhi daun -yang digugurkan pohon kepanasan-. Hari itu terik. Hanya bertemankan sepi, aku membagi es krim “rasa kamu” milikku. Aku memang sedang dahaga, tapi sepertinya malah sepi yang terlihat lebih kehausan. Dia menjilati es krimku seperti tak ada es krim lagi di dunia ini.

Aku tak mau kalah, dahagaku memacuku mengalahkan sepi. Dan ketika es krim “rasa kamu” habis dalam jilatan terakhir, yang tersisa hanya aku dan sepi.
ditulis di sebuah malam yang terik

Berdiri di Atas Jarak



Kata kamu, jarak tak ada artinya bagi cinta. Iya, sesaat setelah aku merasakan rindu. Jarak tak ada apa-apanya dibanding rindu yang terbangun di antaranya.

Rindu itu dimulai sedetik sejak lambaian tanganku ke arah pesawat itu.

Rindu itu dimulai sekejap dari saat pesan “hati-hati” yang aku kirimkan.

Aku tidak pernah mengerti dengan rindu. Sebuah paradoks yang kompleks. Terlalu rumit untuk cinta yang sederhana ini. Jarak membuatku rindu padamu. Namun bertemu denganmu justru membuatku semakin rindu.

Jarak selalu memperparah malam-malamku. Prasangka itu sulit, sayang. Menahannya semalaman suntuk hanya meyakinkan diri tidaklah mudah. Percaya, tapi semuanya tidak semudah itu, karena bukan akulah yang sesungguhnya kamu tunggu.

Aku tak sanggup jika harus menahan jarak sekaligus menahan perasaan. Apalagi dengan jarak yang terbentang antara kita saat ini. Jarak yang sepertinya tak sanggup aku tempuh dengan berjuta kayuh sekalipun.

Kepada Kamu, Tolong Jangan Buka Ini

Aku suka menganalogikan suatu hal menggunakan hal lainnya. Bukan hanya agar mudah dipahami, tetapi juga untuk berpikir, kemudian untuk dimengerti. Sesuatu yang sudah dimengerti akan bisa diterima.

Seperti halnya aku menganalogikan kisah kita sebagai sebuah buku, buku yang tak habisnya aku tulis kemudian kubaca sendiri. Selanjutnya buku itu membuatku beranalogi seolah-olah ia adalah mesin waktu yang membuatku terhempas, kemudian ia menjelma menjadi sebuah kutub di sudut bumi. Membekukan. Mendiamkan. Dingin.

Hingga semuanya berakhir, sampai akhirnya aku tersadar, semuanya sudah tiada. Namun semua itu takkan pernah berhenti.

Aku, menganalogikan kisah kita menjadi sebuah buku. Buku yang seharusnya tak kaubaca. Aku tak ingin terhempas ke masa lalu, kemudian terdampar di masa depan. Tanpamu.

Kuharap kamu tak membuka ini. Aku harap kamu mengerti.

Izinkan Aku



Aku tidak pernah lelah mengguratkan pena kisah kita bertintakan kenangan.

Aku tidak percaya bahwa tidak ada yang abadi, mungkin cintamu iya.

Aku tidak mengerti apa yang akhirnya mendorongku untuk menetapkan hati.

Aku tidak ingin menjadikan kenangan ini berceceran.

Mewujudkannya dalam bentuk susunan bab demi bab berisi kisah kita nampaknya akan menjadi kisah romantis yang pernah aku alami. Maka izinkan aku membubuhkan sekisah demi sekisah kita sehingga menjadi sebuah balada cinta yang di dalamnya diiringi genderang cinta yang jatuh, dan bunyi biola memekakkan telinga hingga senarnya putus.

Aku mohon kerestuanmu. Aku kisahkan abadi cinta. Aku abadikan kisah cinta.

Maukah kamu mengizinkan aku?